Hong Wilaheng (1): Ilmu dalam Jejeran Wayang Banyumasan
Oleh Toto Endargo
Kalau kita menonton wayang kulit, seringkali kita hanya menunggu lakon dimulai. Tapi sesungguhnya, kalimat awal dalam jejeran wayang itu bukan sekadar pembuka, melainkan sebuah ilmu yang sarat makna. Khususnya dalam wayang Banyumasan, ada satu pembuka yang terkenal:
"Hong wilaheng awegenam astu namas sidhem. Ana ratu sidibya pranatengrat pramuditya. Mantra-mantra wetan, hanggendanu kilen. Rep-rep surup Hyang Pratanggapati, kilen pinayungan asta gangga wiron tanu. Asta tangan, gangga banyu, wira papan, tanu tegese tulis. Yen dhalang hamastani papan lan tulis tan prabeda. Dene dhalang tegesipun ngudhal piwulang yektine anggelar suraosing Wedha."
Kalimat itu panjang, puitis, dan memang bukan bahasa sehari-hari. Tapi kalau kita urai, ternyata di dalamnya tersimpan sumber pengetahuan, bahkan semacam "filsafat panggung" dari seorang dalang.
Dalang sebagai "Guru"
Disebutkan: dhalang tegesipun ngudhal piwulang yektine anggelar suraosing Wedha.
Artinya, dalang itu sejatinya bukan hanya pencerita, tapi pengajar. Ia mengurai piwulang (ajaran), membuka isi dari kitab-kitab Wedha. Jadi, ketika kita nonton wayang, sebenarnya kita sedang ikut "ngaji" filsafat hidup, cuma lewat bahasa simbolis.
Wedha Sekawan
Disebutkan ada empat Wedha:
- Wedha Paramayoga
- Wedha Pustakaraja
- Wedha Purwakandha
- Mahabharata
Nah, empat Wedha inilah yang dijadikan dasar jejeran. Kalau kita perhatikan, ini bukan sekadar kitab, tapi kerangka pengetahuan yang merangkum tata laku, sejarah, hukum, hingga falsafah hidup.