Dari Wirasaba ke Purbalingga: Onje sebagai Jejak Penting Politik Lokal
Oleh: Toto Endargo
Awal Berdirinya Wirasaba
Sejarah lokal Jawa bagian barat mencatat keberadaan Kadipaten Wirasaba sudah jauh sebelum abad ke-16. Menurut tradisi Banyumas, kadipaten ini berdiri sekitar tahun 1466--1468 di bawah kepemimpinan Kyai Raden Adipati Wirohudoyo. Dengan wilayah yang strategis, Wirasaba menjadi simpul penting yang menghubungkan jalur politik dan perdagangan dari pesisir utara hingga pedalaman Jawa bagian barat.
Pada abad ke-16, Wirasaba makin menguat. Tokoh pentingnya adalah Adipati Warga Utama (1546--1570). Ia berjasa besar dalam membantu Pajang memenangkan pertempuran sehingga memperoleh legitimasi sebagai Adipati Wirasaba. Sejak saat itu, Wirasaba berada dalam orbit Pajang dan menjadi salah satu mitra politik yang diperhitungkan.
Pecahnya Wirasaba dan Lahirnya Banyumas
Namun, tidak ada kerajaan atau kadipaten yang benar-benar steril dari dinamika internal. Persoalan keluarga di Wirasaba berujung pada friksi yang memunculkan peluang bagi Pajang untuk mengatur ulang wilayah kekuasaan. Pada tahun 1571, Sultan Hadiwijaya dari Pajang memutuskan untuk memecah Wirasaba. Dari pemecahan inilah kemudian muncul kadipaten baru yang dikenal sebagai Banyumas.
Peristiwa ini menunjukkan bagaimana Pajang cermat memainkan politik pecah belah agar tidak muncul kekuatan tunggal yang terlalu dominan di wilayah barat Jawa Tengah.
Onje: Perdikan yang Naik Derajat
Di tengah dinamika itu, muncul wilayah Onje. Sekitar tahun 1566, Onje mulai dikenal sebagai perdikan yang setia kepada pusat kekuasaan. Karena kesuburan tanah dan ketaatan masyarakatnya, wilayah ini berkembang pesat. Hanya berselang satu setengah dekade, pada tahun 1580, Onje diangkat menjadi kadipaten, dengan Anyakrapati sebagai adipati pertama.
Kenaikan derajat Onje bukan hanya simbol kehormatan, tetapi juga strategi politik. Kesetiaan Onje membuatnya dipandang sebagai wilayah penting oleh Mataram, apalagi setelah tokoh dari trah Onje, Wiraguna, menjadi Patih Mataram. Posisi ini menempatkan Onje pada jalur utama politik Mataram sejak era Panembahan Senapati hingga Sultan Agung (1613--1645).
Onje dalam Peta Strategis
Ada beberapa alasan mengapa Onje menempati posisi istimewa:
- Letak strategis. Bukti arkeologis menunjukkan adanya jejak Benteng VOCÂ di Desa Onje dan Kertanegara, menandakan wilayah ini menjadi titik penting dalam kontrol militer dan perdagangan.
- Kesuburan tanah. Hingga kini masih terlihat bekas kebun tebu, teh, dan kopi, yang menunjukkan sejak lama Onje memiliki basis agraris yang kuat.
- Akar politik lokal. Kenaikan Onje menjadi kadipaten istimewa pada 1580 membuktikan adanya pengakuan langsung dari Mataram terhadap posisi penting wilayah ini.
Dari Pemanahan hingga Sultan Agung
Sejarah Mataram memperlihatkan kesinambungan kekuasaan dari Kiai Ageng Pemanahan, dilanjutkan Sutawijaya (Panembahan Senapati), kemudian Anyakrawati (Pangeran Sayidiyah Krapyak), hingga Sultan Agung (1613--1645). Dalam rentang itu, Onje tetap dipandang sebagai mitra politik yang loyal. Namun, pasca wafatnya Sultan Agung, politik kerajaan berubah drastis.
Onje dalam Tekanan
Pada masa Amangkurat I (1645--1677), hubungan pribadi raja dengan Wiraguna yang berasal dari trah Onje memburuk. Sejak itu, Onje mulai mengalami tekanan politik. Ketika memasuki era Pakubuwana I, juga karena hubungan pribadi dengan wilayah Onje, Onje runtuh sepenuhnya (1707), turun statusnya menjadi desa perdikan di bawah otoritas Pamerden.
Dari Desa Perdikan ke Kadipaten Baru
Meski demikian, kepemimpinan lokal tetap bertahan. Nama-nama tokoh seperti Kiai Ngabei Dhenok, Kiai Ngabdullah, Kiai Ngabei Gabug, hingga Kiai Ngabei Cakrayuda (dari Toyamas) menunjukkan kesinambungan tradisi elite lokal. Terakhir, muncul Kiai Ngabei Dipayuda dari Pagendholan, dengan gelar Dipayuda III.
Kiai Ngabei Dhenok (Dipayuda I), Kiai Ngabei Gabug (Dipayuda II), hingga Kiai Ngabei Cakrayuda (dari Toyamas) adalah trah Wirasaba -- Jaka Kaiman.
Pada masa Dipayuda III (1759), barulah wilayah Onje dan sekitarnya dipersatukan kembali sebagai Kadipaten Purbalingga, berada di bawah naungan Mataram Surakarta yang diperintah Pakubuwana III.
baca juga: Kritik Naskah - Misteri Wirayuda dalam Riwayat Wirasaba
Kesimpulan: Akar Lokal Purbalingga
Rangkaian sejarah ini menegaskan bahwa Purbalingga bukan lahir dari nol, apalagi semata-mata dari catatan kolonial, melainkan berakar panjang dari dinamika politik lokal. Jejaknya jelas: Wirasaba (1466) pecah menjadi Banyumas (1571) Onje naik menjadi kadipaten (1580) runtuh sebagai perdikan (1707) bersatu kembali menjadi Kadipaten Purbalingga (1759).
Dari sini, terlihat betapa pentingnya Onje dalam perjalanan sejarah Purbalingga. Onje bukan sekadar desa kecil, tetapi simpul strategis yang pernah berjaya sebagai kadipaten, menjadi pusat loyalitas politik, titik militer penting, serta pusat agraris subur yang menopang kekuasaan Jawa bagian tengah. ===
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI