Musikalisasi Macapat dalam Karya Gombloh: Menjembatani Tradisi dan Modernitas
Oleh: Toto Endargo
Dalam lanskap musik Indonesia yang begitu luas dan beragam, nama Gombloh hadir sebagai sosok yang tak sekadar musisi, melainkan penyair jalanan, filsuf dalam lirik, dan penyambung lidah kebudayaan.
Ia dikenal sebagai seniman yang tak gentar menyuarakan hal-hal yang sunyi---hal-hal yang luput dari perhatian arus utama, namun sesungguhnya mengandung denyut nadi bangsa.
Salah satu karyanya yang paling mencolok dalam hal ini adalah lagu "Sekar Mayang - Hong Wilaheng" (1981), sebuah tembang kontemplatif yang menyusupkan unsur macapat ke dalam bingkai musik modern. Lagu ini bukan sekadar karya, melainkan jembatan antara zaman.
Macapat dan Serat Wedhatama: Warisan yang Menggema
"Sekar Mayang - Hong Wilaheng" berakar dari tembang Pangkur, salah satu jenis macapat---sistem metrum tradisional dalam puisi Jawa. Gombloh mengangkat bait dari karya sastra Jawa klasik, Serat Wedhatama, yang ditulis oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, seorang pujangga dan pemimpin spiritual di abad ke-19. Bait (pada 1) yang dikutip berbunyi:
- Mingkar-mingkuring angkara, akarana karenan mardi siwi, Sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, Mrih kretarta pakartining ilmu luhung, Kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji.
Bait ini menyiratkan ajaran moral dan spiritual---ajak untuk menjauh dari angkara murka, meniti jalan pengetahuan luhur, dan meneguhkan agama sebagai landasan hidup. Bait berikutnya (pada 12)
- Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning jiwangga, yen mengkono kena sinebut wong sepuh, lire sepuh sepi hawa, awas roroning atunggil
Tertulis dalam pola macapat Pangkur, bait tersebut bukan hanya indah secara bentuk, tetapi juga sarat pesan etis. Dalam tradisi Jawa, tembang seperti ini bukan sekadar hiburan, melainkan media pendidikan batin---sejenis filsafat yang dinyanyikan.
Gombloh dan Spiritualitas Bunyi