Gunung Kuda Runtuh: Bencana yang Sudah Dipesan Sejak Lama
Oleh: Toto Endargo
Pada Jumat, 30 Mei 2025, Gunung Kuda di Cirebon runtuh. Longsor besar menelan belasan nyawa, melukai banyak lainnya, dan menyisakan duka mendalam. Namun, di balik kabut duka itu, ada amarah yang tak bisa disangkal---karena ini bukan bencana alam semata, melainkan bencana akibat kelalaian.
Kelalaian yang seperti disengaja. Sebuah tragedi yang sudah lama diprediksi, tapi tetap dibiarkan terjadi.
Banyak Lembaga, Sedikit Tindakan
Indonesia bukan negara yang kekurangan lembaga penanggulangan bencana. Kita punya BNPB, BPBD, Kementerian ESDM, Dinas Lingkungan Hidup, bahkan aparat keamanan. Kita memiliki peta rawan longsor, kajian geoteknik, simulasi bencana, dan sederet prosedur formal yang tampak meyakinkan di atas kertas.
Namun, saat tambang ilegal terus merobek kaki Gunung Kuda, semua institusi itu seolah tuli dan buta. Aktivitas penambangan tetap berlangsung. Laporan masyarakat dan suara protes tak diindahkan, seringkali dijawab dengan dalih "demi ekonomi warga". Sementara itu, gunung terus dikikis hari demi hari, hingga akhirnya tubuhnya runtuh---secara harfiah dan metaforis.
Ini Bukan Sekadar Musibah
Longsor Gunung Kuda bukan hasil dari kemarahan alam, melainkan buah dari:
- Penambangan liar yang dibiarkan
- Lemahnya (atau dilemahkannya) pengawasan
- Ketimpangan kuasa antara warga dan modal
- Kebijakan yang tak dijalankan
- Dan yang paling tragis: normalisasi kerusakan lingkungan
Semua ini adalah bahan baku bom waktu yang akhirnya meledak. Dan ledakan itu terjadi bukan karena nasib buruk, tapi karena kelalaian sistemik yang dibiarkan bertahun-tahun.
Warga Menjerit, Negara Datang Terlambat
Begitu bencana terjadi, bantuan berdatangan. Tim SAR berjibaku, pejabat datang membawa janji. Tapi seperti biasa, semua itu hadir setelah tubuh-tubuh tak bernyawa diangkat dari tanah. Setelah semuanya tertimbun material. Setelah trauma terlanjur mengakar.
Pertanyaannya kini bukan siapa yang membantu, tapi: mengapa selalu terlambat? Mengapa negara hanya hadir setelah sistem gagal total? Mengapa tindakan preventif kalah cepat dari sirene ambulans?
Bukan Waktunya Lupa, Saatnya Tuntut Jawaban
Kita tidak bisa lagi menyebut tragedi ini sebagai "musibah" lalu move on. Harus ada audit menyeluruh:
- Siapa yang membiarkan tambang ilegal beroperasi?
- Siapa yang mengabaikan laporan warga?
- Siapa yang mengambil untung dari perusakan ini?
- Dan siapa yang kini berpura-pura terkejut?
Jika negara ingin belajar, inilah momen terbaiknya. Jika tidak, maka Gunung Kuda hanya akan menjadi satu nama dalam daftar panjang bencana yang seharusnya bisa dicegah---namun sengaja dibiarkan.
Dan bila itu terjadi, maka kita semua turut bersalah. Karena diam adalah bentuk persetujuan. Dan saat kita berhenti marah, saat itulah kita tengah memesan bencana berikutnya.
Kita sering menggaungkan slogan: "Mencegah lebih baik daripada menanggulangi." Tapi realitas di lapangan berkata lain: pencegahan tertatih-tatih, reaksi selalu terlambat, dan penanggulangan justru jadi ajang perayaan anggaran.
Sementara itu, tambang di gunung-gunung dan tempat lain tengah menunggu giliran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI