Begitu bencana terjadi, bantuan berdatangan. Tim SAR berjibaku, pejabat datang membawa janji. Tapi seperti biasa, semua itu hadir setelah tubuh-tubuh tak bernyawa diangkat dari tanah. Setelah semuanya tertimbun material. Setelah trauma terlanjur mengakar.
Pertanyaannya kini bukan siapa yang membantu, tapi: mengapa selalu terlambat? Mengapa negara hanya hadir setelah sistem gagal total? Mengapa tindakan preventif kalah cepat dari sirene ambulans?
Bukan Waktunya Lupa, Saatnya Tuntut Jawaban
Kita tidak bisa lagi menyebut tragedi ini sebagai "musibah" lalu move on. Harus ada audit menyeluruh:
- Siapa yang membiarkan tambang ilegal beroperasi?
- Siapa yang mengabaikan laporan warga?
- Siapa yang mengambil untung dari perusakan ini?
- Dan siapa yang kini berpura-pura terkejut?
Jika negara ingin belajar, inilah momen terbaiknya. Jika tidak, maka Gunung Kuda hanya akan menjadi satu nama dalam daftar panjang bencana yang seharusnya bisa dicegah---namun sengaja dibiarkan.
Dan bila itu terjadi, maka kita semua turut bersalah. Karena diam adalah bentuk persetujuan. Dan saat kita berhenti marah, saat itulah kita tengah memesan bencana berikutnya.
Kita sering menggaungkan slogan: "Mencegah lebih baik daripada menanggulangi." Tapi realitas di lapangan berkata lain: pencegahan tertatih-tatih, reaksi selalu terlambat, dan penanggulangan justru jadi ajang perayaan anggaran.
Sementara itu, tambang di gunung-gunung dan tempat lain tengah menunggu giliran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI