Mengenal Wangsalan Lokal Banyumasan di Gendhing Kembang Glepang
Masyarakat Jawa memiliki kekayaan budaya, bahasa, dan sastra yang luas serta berpengaruh. Banyak pihak memperhatikannya, baik secara ilmiah maupun non-ilmiah. Mereka menikmati, bahkan terkadang ingin memilikinya.
Seharusnya, setiap warga Jawa memiliki kehendak untuk melestarikan budaya sastra warisan leluhur secara positif. Para pecinta Bahasa Jawa, terutama para guru Bahasa Jawa, tentu sudah sangat familiar dengan istilah "Wangsalan."
Apa Itu Wangsalan?
Wangsalan adalah bentuk sastra tutur yang menyerupai pantun, di mana kata-kata dalam sampiran berupa teka-teki yang pada akhirnya dijawab sendiri dalam isi. Kata-kata yang digunakan dalam wangsalan tidak sama persis, tetapi memiliki kemiripan yang erat. Wangsalan dapat berbentuk satu baris, dua baris, atau bahkan berbentuk tembang.
Secara struktur, wangsalan mirip dengan pantun yang terdiri dari sampiran (teka-teki) dan isi (jawaban). Perbedaannya terletak pada fokusnya: pantun lebih menekankan sajak akhir, sedangkan wangsalan mengutamakan makna kata serta sajak akhirnya.
Wangsalan Banyumasan
Dalam artikel ini, istilah "lokal" merujuk pada wilayah Banyumas. Ternyata, dalam budaya sastra Banyumas, terdapat bentuk wangsalan yang khas dan berbeda dari daerah lain. Sayangnya, bentuk wangsalan ini belum banyak diteliti atau dibahas secara khusus.
Secara umum, wangsalan yang sering diajarkan dan ditemui adalah produk dari wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Berikut adalah beberapa contoh wangsalan umum:
Contoh 1: Kolik priya, Priyagung Anjani putra Tuhu eman, wong anom wedi kangelan