Mohon tunggu...
Topade Wisdom
Topade Wisdom Mohon Tunggu... wiraswasta -

Motivation of Life (Riyadhoh to Life)\r\nhttp://successofway.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Serial] Kebijaksanaan yang Terpasung IV: Istighotsah dengan Joged

14 September 2012   15:46 Diperbarui: 18 Februari 2016   19:45 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

BAB: IV

Istighotsah dengan Joged

 

Sejak terlahir, ritual pertunjukan sintren itu memang sengaja diadakan untuk meminta turunya hujan, di BAB.I Bencana, Salah Tuhan Yang Maha Esa, sudah sedikit disinggung, pada tulisan kali ini rasanya kurang afdol jika tidak dipaparkan secara lebih mendalam. Pada fokus ini juga yang sering mengundang kontroversial, tidak jarang tuduhan sinis dialamatkan kepada ritual udik ini. Ritual meminta hujan dengan sintrenan sering dianggap musrik oleh penganut budaya baru, Budayanya yang baru, penganutnya juga baru. Apakah tuduhanya berdasar? Tentu berdasar, karena mereka yang melontarkan tuduhan sinis itu juga punya pakem yang mendasarinya. Jadi tuduhan itu benar ? Menurutnya benar. Kalau menurut penulis apakah benar? Benar juga, karena alasan yang digunakannya masih dalam koridor yang bisa dibenarkan. Meminta hujan memang tidak boleh kepada selain Gusti Allah, karena yang mempunyai hujan Gusti Allah, sekali-kali berani meminta kepada yang SelainNya ya musrik. Kalau memang benar titik dong? Iya. Saya juga tidak mau meneruskan, saya mau nembang.

 

  • Uler-uler kilan
  • Merambat ning godong salam
  • Nyai buyut njaluk udan
  • Sintrene lagi jogedan

 

Terjemahan:

  • Ulat-ulat Jengkal (ulat jengkal/hyposidra talaca walker, ulat pemakan daun) Uler (lidah udik).
  • Merambat didaun salam
  • Kakek nenek minta hujan
  • Sintrenya sedang Jogedan (menari)

 

Ulat atau orang jawa Brebesan menyebutnya Uler, Ulat yang dimaksud disini adalah ulat jengkal (hyposidra talaca walker) jenis hewan ini biasanya pemakan daun yang muda pada tanaman. Ulat kilan juga sebagai pertanda musim penghujan, sebab ulat kilan/jengkal ini biasa muncul pada saat musim penghujan. Ulat kilan memiliki tubuh yang lembut dan cenderung tidak gatal kendati tersentuh oleh bagian tubuh manusia.

 

Merambat didaun salam. Merambat adalah penggambaran sebuah proses, ada upaya, upaya yang dimaksudkan disini tentunya meminta hujan, sebab salah satu tujuan ritual sintren memang untuk meminta hujan, inilah Istighotsah-nya orang udik. Yang lebih menarik adalah ketika merambatnya itu pada daun salam, mengapa bukan daun jambu, atau daun yang lainya? Daun dalam khasanah jawa adalah lambang kemakmuran, sementara Salam sendiri memiliki dua arti.

 

Pertama; Salam dapat berarti Daun Salam yang memang mempunyai rasa yang sangat khas diantara sekian banyak bumbu-bumbuan, dan hampir pada setiap olahan masakan menggunakan daun yang satu ini. So, bagaimana rasanya jika suatu masakan dilepaskan dengan bumbu yang satu ini, pasti kurang sempurna. Artinya adalah meminta kepada Gusti-pun harus dengan etika, ada adab, tata cara meminta (Istghotsah). Yang Maha Agung berfirman; Memintalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Tuhan Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas[3]

Firman dan Riwayat diatas adalah merupakan adab bagi orang yang menghendaki Tuhan mengabulkan permohonanya. Beberapa kesimpulan dapat diambil dari Firman dan riwayat diatas, diantaranya; memohon kepada Dzat yang agung tidak diperkenankan dengan kasar mengeraskan suara) bahkan harus merendahkan diri dihadapanNya, alasanya karena Tuhan tidak menyukai kekasaran dan merupakan perbuatan yang keluar dari batas etika kehidupan. Banyak contoh manusia yang meminta dengan menggunakan pola-pola kekerasan, seperti mereka yang menghendaki Syariat dapat tegak dinegeri ini, tapi menggunakan pola-pola yang merusak, menggudakan petasan yang kerap menghacurkan gedung, melakukan pembunuhan terhadap mereka yang dianggap tidak sejalan dengan ideologinya. Akhirnya Sang Nabi juga mengingatkan yang bernada teguran dengan keras, Wahai manusia, kasihanilah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru Dzat yang tuli dan tidak ada, sesungguhnya Tuhan Allah bersama kalian, Dia Maha mendengar lagi Maha dekat,[4]. Ayolah dengarkan teguran sang Nabi, kasihanilah diri kalian sendiri, jangan dibuang nyawa kalian atas hal yang belum jelas kebenaranya, Jika kita myakini Tuhan selalu bersama kita, bangkitkanlah budaya malu, karena setiap saat tindakan hidup kita DiperhatikanNya, DidengarNya, karena sesungguhnya Dia Dekat. Oleh karena itu Tuhan pasti mengetahui ketika perjalanan hidupmu keluar dari pembatas jalan hidup. Jika demikian aplikasikanlah keteladaan atas Nama Tuhan yang maha welas asih dalam hubungan bersosial, dalam meminta, dan dalam peribadatan KepadanNya, tidak rugikah jika ibadah kita ditolakNya lantaran keluar dari pakem yang dikehendakiNya.

Kemudian pada riwayat yang lain sang Nabi kembali mengingatkan kita, agar dalam berprilaku senantiasa eling dan waspada. Memohonlah kepada Tuhan Allah dan kalian yakin akan dikabulkan. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan permohonan dari hati yang lalai, dan lengah (dengan permohonanya)[5]. Setelah kita sudah dapat berlemah-lembut, lugu, polos dalam memohon, maka yakinlah bahwa permohonan kalian pasti dikabulkan, Pasti. Masih ragu-ragukah dengan kuasa Tuhan? Jika demikian berarti termasuk kedalam golongan mereka yang lalai dan lengah. Lalai dan lengah inilah hal yang menyebabkan permohonan kita keluar jalur, Tuhan yang dituju namun setan yang dijumpai. Pantas jika penegakan Syariat selalu gagal walaupun sudah memakan banyak korban. Jika pola-pola kekerasan yang terus dikembangkan, penulis sangat yakin selamanya Syariat tidak akan pernah mendapat tempat. Mengapa? Karena para penegaknya gadungan, lalai, lengah, keluar dari pakem yang diridhoiNya.

Selanjutnya adalah Firman Tuhan, Janganlah kalian mengeraskan permohonan kalian dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu[6]. Dikasih tau oleh sang Nabi masih tetep mbalelo ya Tuhan kembali mengingatkan, Tuhan hanya memita jalan tengah jika benar-benar yang diharapkan adalah RidhoNya. Kekerasan itu jurang yang terjal, oleh karena itu tak jarang kekerasan memakan korban dan kerendahan adalah lembah yang membahayakan, tampak indah jika dilihat dari atas, aneka macam kesenangan sepertinya ada disana. Namun Pengkabulan atas permohonan Tuhan letakan pada jalan Tengah, jalan yang sebenarnya sangat nyaman untuk dilalui. Biarkan sajalah dibawah jurang sana ada iming-iming emas permata, abaikan saja walaupun pada lembah sana ada intan berlian, berjalanlah terus dijalan tengah, jalan yang seimbang, sebab dijalan tengahlah tempat keridhoan Tuhan yang membahagiakan telah diletakan. Kebahagiaan yang digaransi oleh Tuhan, Penguasa atas segala sesuatu.

 

Karena terlalu Panjang akhirnya artikel dibagi dua klik link dibawah ini

Bersambung (Sambungan [Serial] Kebijaksanaan yang Terpasung IV: Istighotsah dengan Joged)

=======================================================================

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun