Mohon tunggu...
Tony Burhanudin
Tony Burhanudin Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Malas membaca sesat di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Wanita dan Kecenderungan "Belanja Dadakan"

30 Agustus 2016   14:57 Diperbarui: 31 Agustus 2016   08:41 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. pymnts.com

Wanita dan Impulsive Buying

Apakah Anda orang bertipe spontan yang sering melakukan sesuatu secara mendadak, atau sebaliknya Anda terbiasa melakukan sesuatu secara terencana. Dua karakter ini boleh jadi dipengaruh oleh latar belakang budaya Anda. Karakter ini muncul berkaitan pada bagaimana latar belakang budaya Anda memandang waktu.

Pakar komunikasi budaya Tom Bruneau, dalam bukunya “The Time Dimension in Intercultural Communication” menjelaskan pandangan berbagai budaya mengenai konsep “Futurisme” (telaah mengenai masa depan).

Bruneau memaparkan, bagi kelompok budaya tertentu pandangan masa depan itu hampir menjijikan. Bagi kelompok budaya lain, masa depan itu ditakuti dan disembunyikan dari alam pikiran. Sementara bagi kelompok budaya yang lagi, berpikir tentang masa depan dianggap sebagai kegiatan mubazir, kemalasan, sejenis mimpi yang tidak perlu, atau aktivitas romantis yang tolol.

Dalam tataran praktik sehari-hari Bruneau memberi contoh perilaku dua orang saat berkendara di jalan raya. Kita asumsikan dua orang tersebut berasal dari dua latar belakang budaya berbeda. Katakanlah pengendara pertama bernama Fulan, ia berasal dari budaya yang mengedepankan spontanitas. Pengendara kedua Amir berasal dari latar belakang budaya yang menjunjung perencanaan (planning) dan berpikir ke depan.

Perilaku berkendara Fulan dan Amir bisa menimbulkan konflik atau salam paham. Sebagai misal, Amir berkendara di belakang Fulan.  Amir akan terkejut ketika Fulan baru menyalahkan lampu sen ketika akan berbelok. Sebaliknya ketika Fulan yang berada di belakang Amir merasa bingung karena Amir menyalahkan lampu sen terlalu lama, tapi tidak kunjung berbelok.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena dari persepektif Fulan, keinginan berbelok bukanlah isyarat yang memerlukan penangguhan tindakan. Bagi Fulan keinginan berbelok dan peristiwa berbelok berbaur. Dengan kata lain, Fulan baru memberi isyarat berbelok setelah melihat tempat berbelok. Di sisi lain, Amir membagi peristiwa-peristiwa lalu lintas menjadi satuan-satuan antisipatoris. Karena itu, sebelum benar-benar berbelok dia sudah menyalahkan lampu sen jauh sebelum menemukan tempat berbelok.

Dalam gradasi yang hampir mirip, perilaku demikian bisa temui dalam dunia pemasaran. Pertama, konsumen yang kerap melakukan pembelian secara mendadak. Kedua, konsumen yang terbiasa melakukan pembelian secara terencana. Perilaku yang pertama menimbulkan apa yang disebut sebagai pembelian impulsif (impulsive buying).

Mendadak Beli

Pembelian impulsif adalah pembelian yang dilakukan secara cepat, tiba-tiba,dan tanpa perencanaan terdahulu. Modern market seperti mini market, supermarket, atau hipermaket merupakan lahan subur tumbuhnya pembelian impulsif. Saat ini konsumen juga menemukan tempat baru untuk melepaskan syahwat belanja di situs belanja online.

Jika istri Anda awalnya hanya ingin membeli deterjen dan telur di supermarket, lalu pulang dengan membawa belanja tambahan seperti ice cream, sekeranjang buah, dan sekotak permen, istri telah melakukan pembelian impulsif. Tergoda membeli sepatu setelah melihat diskon di situs belanja online, lalu Anda langsung membelinya padahal sebelumnya tidak tidak terlintas sama sekali untuk membeli sepatu, berarti Anda telah melakukan pembelian impulsif.

Keputusan pembelian impulsif lebih menggunakan emosi ketimbang logika. Model klasik  lima tahap proses pembelian yang mencakup pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian, dan perilaku pasca pembelian, tidak berlaku pada pembelian impulsif.

Jika modern market dan e-commerce menjadi lahan subur terjadinya pembelian impulsif bisa dipahami, mengingat di dua lokasi itulah kontak langsung terjadi antara konsumen dengan aneka produk dan tenaga penjual (SPG). Pada e-commerce konsumen bisa merasa begitu enggage dengan produk, karena produk terasa ada di depan mata dan dalam genggaman.

Modern outlet berupaya membangun pembelian impulsif dengan tampilan interior, tata cahaya, tata letak barang yang memikat serta tenaga penjual yang ramah. Pertanyaan adalah apakah tampilan modern outlet bisa memicu pembelian impulsif? Beberapa riset menunjukan korelasi positf di antara keduanya.

Salah satunya riset yang dilakukan Kristian Yudha Peranginangin dari Universitas Indonesia melalui tesisnya: “Perilaku Pembelian Impulsif Pada Hypermarket Carrefour Jakarta” tahun 2011 lalu. Hasilnya ada korelasi positif antara suasana atmosfir gerai terhadap pembelian impulsif. Atmosfir yang dimaksud mencakup tampilan eksterior, interior, alunan musik, suhu udara, wewangian, kebersihan, karyawan toko, dan lain-lain.

Tesis itu juga menguatkan dugaan banyak orang bahwa, perempuan sering menjadi pelaku pembelian impulsif. Hasil tesis itu menunjukkan, perempuan lebih sering melakukan pembelian impulsif dibandingkan pria. Salah satu alasannya perempuan bertanggung jawab dalam urusan rumah tangga, termasuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Setiap perilaku biasanya muncul karena adanya niat dan kesempatan. Namun pada pembelian impulsif, kesempatan saja sudah cukup memunculkan perilaku ini. Kesempatan tersebut promosi yang ditawarkan perusahaan. Menurut Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, MSc, promosi merupakan sarana yang efektif untuk mendorong pembelian impulsif.

Di sisi lain, pembelian impulsif semakin dipermudah dengan adanya sistem pembayaran.  “Jika ada sales, dan di tangannya ada uang kas atau kartu kredit terjadilah impulse buying. Tapi jika di tangannya tidak ada uang kas dan kartu kredit tidak akan terjadi,” jelas pakar perilaku konsumen dari IPB ini.

Ujang menegaskan tidak selamanya pembelian impulsif itu negatif. Sebagai misal pembelian impulsif yang dilakukan ibu – ibu untuk mendukung ketahanan pangan (food preparation). Para ibu biasanya bertanggung jawab sebagai pengambil keputusan dalam food preparation. Karena itu wajar jika para ibu sering membeli produk pendukung kebutuhan pangan keluarga seperti kecap, saus, mie instan, dan lain-lain. “Begiitu ada selisih harga sedikit, dia sensitif dan ingin membeli,” tutur Ujang.

Sebenarnya ada perilaku lain yang perlu diwaspadai, yakni compulsive buying. Perilaku ini dosisnya lebih tinggi dari impulse buying, karena motifnya ingin memenuhi segala keinginannya dibandingkan kebutuhannya.  “Jika konsumen tidak bijak berbahaya, karena ketika tidak punya daya beli dia akan menggunakan kartu kredit. Di rumah tangga ini bisa menjadi potensi konflik ketika si ibu tidak bisa me-menej uang,” jelas Ujang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun