Mohon tunggu...
Tony Burhanudin
Tony Burhanudin Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Malas membaca sesat di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Wanita dan Kecenderungan "Belanja Dadakan"

30 Agustus 2016   14:57 Diperbarui: 31 Agustus 2016   08:41 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. pymnts.com

Keputusan pembelian impulsif lebih menggunakan emosi ketimbang logika. Model klasik  lima tahap proses pembelian yang mencakup pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian, dan perilaku pasca pembelian, tidak berlaku pada pembelian impulsif.

Jika modern market dan e-commerce menjadi lahan subur terjadinya pembelian impulsif bisa dipahami, mengingat di dua lokasi itulah kontak langsung terjadi antara konsumen dengan aneka produk dan tenaga penjual (SPG). Pada e-commerce konsumen bisa merasa begitu enggage dengan produk, karena produk terasa ada di depan mata dan dalam genggaman.

Modern outlet berupaya membangun pembelian impulsif dengan tampilan interior, tata cahaya, tata letak barang yang memikat serta tenaga penjual yang ramah. Pertanyaan adalah apakah tampilan modern outlet bisa memicu pembelian impulsif? Beberapa riset menunjukan korelasi positf di antara keduanya.

Salah satunya riset yang dilakukan Kristian Yudha Peranginangin dari Universitas Indonesia melalui tesisnya: “Perilaku Pembelian Impulsif Pada Hypermarket Carrefour Jakarta” tahun 2011 lalu. Hasilnya ada korelasi positif antara suasana atmosfir gerai terhadap pembelian impulsif. Atmosfir yang dimaksud mencakup tampilan eksterior, interior, alunan musik, suhu udara, wewangian, kebersihan, karyawan toko, dan lain-lain.

Tesis itu juga menguatkan dugaan banyak orang bahwa, perempuan sering menjadi pelaku pembelian impulsif. Hasil tesis itu menunjukkan, perempuan lebih sering melakukan pembelian impulsif dibandingkan pria. Salah satu alasannya perempuan bertanggung jawab dalam urusan rumah tangga, termasuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Setiap perilaku biasanya muncul karena adanya niat dan kesempatan. Namun pada pembelian impulsif, kesempatan saja sudah cukup memunculkan perilaku ini. Kesempatan tersebut promosi yang ditawarkan perusahaan. Menurut Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, MSc, promosi merupakan sarana yang efektif untuk mendorong pembelian impulsif.

Di sisi lain, pembelian impulsif semakin dipermudah dengan adanya sistem pembayaran.  “Jika ada sales, dan di tangannya ada uang kas atau kartu kredit terjadilah impulse buying. Tapi jika di tangannya tidak ada uang kas dan kartu kredit tidak akan terjadi,” jelas pakar perilaku konsumen dari IPB ini.

Ujang menegaskan tidak selamanya pembelian impulsif itu negatif. Sebagai misal pembelian impulsif yang dilakukan ibu – ibu untuk mendukung ketahanan pangan (food preparation). Para ibu biasanya bertanggung jawab sebagai pengambil keputusan dalam food preparation. Karena itu wajar jika para ibu sering membeli produk pendukung kebutuhan pangan keluarga seperti kecap, saus, mie instan, dan lain-lain. “Begiitu ada selisih harga sedikit, dia sensitif dan ingin membeli,” tutur Ujang.

Sebenarnya ada perilaku lain yang perlu diwaspadai, yakni compulsive buying. Perilaku ini dosisnya lebih tinggi dari impulse buying, karena motifnya ingin memenuhi segala keinginannya dibandingkan kebutuhannya.  “Jika konsumen tidak bijak berbahaya, karena ketika tidak punya daya beli dia akan menggunakan kartu kredit. Di rumah tangga ini bisa menjadi potensi konflik ketika si ibu tidak bisa me-menej uang,” jelas Ujang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun