Mohon tunggu...
Hartono Tasir Irwanto
Hartono Tasir Irwanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rasionalitas membawa pemikiran anda melangit. Moralitas membawa tindakan anda membumi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pancasila dan Masyarakat Muslim Modern

9 November 2014   23:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:13 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Indonesia, adalah suatu term yang mengantarkan pikiran kita kepada suatu bangsa yang terdiri dari kumpulan bangsa-bangsa pula (Sabang-Marauke), yang senasib-sepenanggungan dalam meraih dan mengisi kemerdekaan atas kolonialisme Belanda, pada umumnya. Nasionalisme internal meniscayakan kita untuk tetap pada koridor persatuan Indonesia (sila ke tiga), sembari mengikis upaya-upaya perpecahan melalui gerakan separatis dengan tetap mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke lima). Sementara nasioanlisme eksternal, meniscayakan kita untuk tetap bangga dan ikut membanggakan bangsa indonesia ditengah-tengah arus globalisasi, sembari menepis gaya hidup westernisasi (xenomaniac) yang mendegradasi adab-adab kemanusiaan indonesia (sila kedua). Maka, yang dapat menyatukan sesuatu yang majemuk hanyalah suatu prinsip universal yang digali dari, diterima oleh, dan dipersembahkan untuk masyarakat majemuk itu sendiri. Adapun prinsip universal itu adalah Pancasila.

Islam dan Pancasila

Bangsa Indonesia yang siap lepas landas, menurut Nurcholis Madjid, yang mengacu pada teori lepas landas ekonom Amerika, Joseph Schumpeter, memerlukan upaya dorongan mesin dan kesiapan mental yang lebih kuat ketimbang bangsa yang masih merancang pesawat atau mempersiapakan rancangan pesawat. Adapun dorongan mesin dan kesiapan mental yang dimaksud sudah terangkum jelas dalam cetak biru pesawat, yaitu Pancasila.

Bangsa yang berketuhanan yang Maha Esa akan melahirkan kepribadain fitrawi yang dapat memilih serta menjalankan kebaikan dan kebenaran dibanding keburukan dan kejahatan. Dari fitrah Tauhid tersebut, tentu menjadikannya manusia yang adil dan beradab. Sehingga, betapapun berbedanya tiap-tiap individu dalam bangsa Indonesia yang majemuk ini, masih dapat tercakup dalam persatuan Indonesia, selama tidak melupakan fitrah Tauhid dan nilai-nilai kemanusiaan tadi.

Selanjutnya, menurut Nurcholis Madjid, karena setiap pribadi berpotensi benar dan salah. Maka, setiap pribadi, karena potensi benarnya, berhak mengajukan gagasan. Dan sebaliknya, setiap pribadi, karena potensi salahnya, berkewajiban mendengarkan gagasan orang lain dengan hikmat dan bijaksana. Pertanyaanya kemudian, apa sebenarnya tujuan dari lepas landasnya bangsa kita? Tujuannya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Nurcholis Madjid: Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, hal 63).

Islam dan Budaya Indonesia

Masuknya Islam di Indonesia ditenggarai berasal dari China, Iran dan India. Islamisasi nusantara mendapati jalannya yang mulus karena ajaran Islam yang dibawa oleh China, Iran dan India merupakan Negara berlatar belakang kebudayaan Hindu-Budha. Di mana Negara-negara tersebut memiliki banyak kesamaan budaya dengan bangsa Indonesia yang kala itu mayoritas menganut keyakinan Hindu-Budha, utamanya Jawa. Islam sebagai agama yang berkeadilan sosial kemudian semakin dihayati oleh masyarakat yang menginginkan konsep kehidupan yang egaliter, demokratis dan bersemangat keilmuan untuk mengganti tatanan kehidupan yang dikuasai oleh kerajaan, bangsawan dan bersifat tertutup, kala itu. Singkat kata, akultrasi budaya Indonesia dengan visi-misi Islam betul-betul menjadi langkah solutif di waktu yang tepat, sekitar pada abad 13-18 di Indonesia. Hal ini tentu meruntuhkan pandangan bahwa Islam adalah agama pedang. Karena Islamisasi di Indonesia tidak memerlukan pertumpahan darah atau penaklukan militer. Tetapi hanya berkisar pada perdagangan, politik dan metodogi dakwah yang etis dan berbudaya.

Islam dan Politik Indonesia

Sebagai agama yang universal, Islam mencakup dua dimensi; habluminallah (vertikal; Tuhan) dan habluminannas (horizontal; makhluk). Dimensi yang disebutkan terakhir melingkupi pula bidang politik. Dalam Islam diajarkan untuk melakukan politik guna memastikan pengambilan kebijakan yang berkeadialan sosial. Tapi, bagaimana bisa masyarakat muslim dapat menerapkan keadilan sosial dalam politik praktis, jika pendidikan tentang teori, etika dan nilai politik menuai hambatan ganda. Hambatan pertama datang justru dari dalam diri masyarakat muslim sendiri yang cenderung skeptis dengan politik praktis yang didominasi oleh pendidikan barat yang terlanjur dicap kolonial, nonmuslim atau bahkan kafir. Hambatan kedua yang tak kalah beratnya datang dari pihak kolonial barat yang pada zaman penjajahan melakukan staratafikasi sosial yang berujung pada pengucilan ruang pendidikan formal bagi masyarakat muslim.

Salah satu solusi, kalau bukan satu-satunya, adalah intensifitas pendidikan politik bagi masyarakat muslim sebelum terjun dalam politik praktis dengan visi keadilan sosial, tanpa melupakan identitas keislamannya, tentunya. Politik merupakan alat untuk mencapai keadilan sosial, kebahagiaan dan kesejahteraan. Menurut pemimpin besar revolusi Islam Iran, Imam Khumaini, sifat yang menjadi syarat bagi seorang pemimpin politik dalam Islam adalah ia harus berpengetahuan luas agar dapat mengetahui apa yang benar dan harus dapat berlaku adil dalam menerapkan pengetahuannya kepada masyarakat yang dipimpinnya, termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan dan keadilan, itulah sifat yang menjadi syarat bagi pemimpin muslim (Imam Khumaini: Pemikiran Politik Islam dalam Pemerintahan, hal 95).

Islam dan Sosialime

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun