Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terpisah Jarak dan Waktu, Saya Tetap Japri Ucapkan Idul Fitri dan Mohon Maaf Lahir Bathin?

5 Mei 2022   00:10 Diperbarui: 5 Mei 2022   00:31 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Masih menjaga silaturami, memberi maaf, meminta maaf di Idul Fitri, meski melalui medos sampai ke jaringan pribadi (japri), mencerminkan apakah saya masih menganggap dia-mereka tetap sebagai keluarga, saudara, sanak famili, teman, sahabat, mantan murid, mantan mahasiswa, dan lainnya 

(Supartono JW.04052022)

Kendati ada cara mudah untuk kita bersilaturhami di Idul Fitri 1443 Hijriah, tanpa tatap muka, tetap saja banyak orang tak melakukan silaturahmi, memberi maaf atau meminta maaf di hari yang fitri. Padahal, media sosial (medsos) terutama WhatsApp (wa) sangat memudahkan siapa pun untuk tetap dapat bersilaturahmi tanpa harus tatap muka.

Saya sendiri, memanfaatkan wa, IG, facebook, line, twitter, linkedin, untuk silaturahmi dengan keluarga, saudara, famili, teman, sahabat dll, yang tak dapat bertatap muka untuk mohon maaf lahir bathin kepada mereka melalui status saya. 

Dan, beberapa ada yang saya sampaikan mohon maaf lahir bathin via jaringan pribadi (japri), sebab mereka adalah keluarga, saudara, famili, teman, sahabat, dan lainnya, orang-orang yang selalu ada di hati pun rendah hati.

Sebaliknya, saya pun paham siapa orang-orang yang dengan rendah hati memberi maaf, meminta maaf via japri kepada saya. Artinya, mereka, hingga kini tetap menjadi keluarga, saudara, famili, teman, sahabat saya yang sejati. Tak lekang oleh jarak dan waktu.

Fenomena silaturahmi

Ramadhan dan Idul Fitri 1443 Hijriah/tahun 2022 Masehi, khususnya bagi umat Islam di Indonesia benar-benar penuh hikmah, berkah, dan semoga umat Islam yang menjalankan ibadah Ramadhan dengan ikhlas dan khusyu, ikhlas memberikan maaf dan ikhlas meminta maaf,  dapat terhindar dari api neraka, mendapat pahala yang setimpal sesuai amal perbuatannya. Aamiin.

Meski Lebaran kali ini, rakyat diperbolehkan mudik, namun dalam urusan silaturahmi atau jalinan tali persahabatan (persaudaraan) tidak semuanya dapat dilakukan dengan tatap muka dan berjabat tangan. 

Bahkan, juga sudah menjadi tradisi, bila orang tua d kampung halaman sudah tiada (meninggal), biasanya para anaknya yang hidup dan tinggal merantau/di luar daerah/pulau/luar negara, seolah sudah tak memiliki kewajiban mudik ke kampung halaman, walau pun masih ada keluarga, selain ibu dan bapak, yaitu anak-anaknya, seisi rumah. Juga sanak saudara, orang yang seibu seayah (atau hanya seibu atau seayah saja), adik atau kakak serta sanak famili, yaitu kaum keluarga, kerabat, sanak saudara hingga teman-teman dan para sahabat.

Sebab tak mudik karena alasan kedua orang tua sudah tidak ada, seolah menjadi pembenaran yang benar. Padahal masih ada keluarga, saudara, dan sanak famili di kampung halaman, plus dari segi ekonomi, tergolong mampu untuk sekadar membayar biaya mudik dan balik. Sehingga, saat kesempatan mudik untuk silaturahmi tak dimanfaatkan, dapat menjadi pertanyaan, di mana rasa kekeluargaa, persaudaraan, dan kefamilian yang bersangkutan.

Namun, bagi orang yang secara ekonomi kurang mampu atau tak mampu, meski keluarga, ayah-ibu, adik-kakak masih lengkap, saudara masih lengkap, sanak famili masih lengkap, tapi ekonomi tak mendukung, maka tak mudik adalah pilihan yang bijak dan tak memaksakan diri.

Selain silaturhami dengan keluarga, saudara, sanak famili tatap muka dengan mudik, silaturahmi juga biasa diselenggarakan di instansi (kantor/tempat kerja), institusi (sekolah, akademi, kuliah), perkumpulan, grup, reuni dll.

Kira-kira, saya, kita, termasuk golongan orang-orang yang manakah dari identifikasi tersebut? Terlepas saya atau kita termasuk golongan orang yang mana, kondisi tersebut pun kini ditambah oleh kemajuan peradaban, dengan hadirnya media sosial (medsos).

Hadirnya medsos, setelah sms atau telepon dan temannya, semakin dapat dijadikan alasan untuk sesorang tak mudik, meski mampu secara ekonomi, masih ada keluarga, saudara, sanak famili dan lainnya di kampung halaman.

Medsos, terutama WhatsApp (wa), pun berubah menjadi makcombalang. Bila makna makcomblang yang asli adalah perantara pencari jodoh, perantara yang menghubungkan atau mempertemukan calon suami istri, kini wa jadi perantara untuk komunikasi jarak dekat mau pun jauh antara seseorang dengan sesorang mau pun grup wa.

Sejak hadirnya wa, sejatinya manusia sangat dimudahkan untuk berkomunikasi hingga bersulaturahmi. Oleh sebab itu, orang-orang yang terpisah oleh jarak dan waktu, silaturahmi memberi dan meminta maaf via medsos secara umum apalagi melalui japri, maka itulah bukti mereka masih mengakui kita sebagai keluarga, saudara, famili, teman, sahabat, dan lainnya, dengan catatan ada yang ikhlas dari hati, ada yang sekadar untuk basa-basi, ada yang sebagai intrik-taktik baik untuk kepentingan tertentu, hingga untuk kepentingan politik.

Kira-kira, saya dan kamu, silaturahmi via medsos, japri, mengucapkan Idul Fitri, memberi maaf dan meminta maaf, ikhlas atau sekadar skenario?

Lalu, bila saya atau kamu, sudah tak silaturahmi tatap muka berjabat tangan, pun tak silaturahmi via medsos dan japri ucapkan Idul Fitri, mohon maaf lahir bathin, saya atau kamu, sedang ada apa? Sedang kena apa? Yuk, tanya pada diri kita masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun