Mohon tunggu...
Tonny Syiariel
Tonny Syiariel Mohon Tunggu... Lainnya - Travel Management Consultant and Professional Tour Leader

Travel Management Consultant, Professional Tour Leader, Founder of ITLA

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Olimpiade, Antara Olahraga dan Politik

1 Agustus 2021   17:08 Diperbarui: 1 Agustus 2021   17:17 1493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembukaan Olimpiade Moskwa yg diboikot AS dan negara sekutunya. Sumber: Getty Images/ www.insidethegames.biz

Baron Pierre de Coubertin mungkin tidak pernah bermimpi. Olimpiade modern yang digagasnya itu pernah diwarnai berbagai konflik politik. Dari Berlin 1936 hingga Moscow 1980. Bahkan di era terkini, korban suatu konflik politik di berbagai negara pun bisa hadir di Olimpiade. Itulah yang tersaji di parade pembukaan '2020 Summer Olympics' (Tokyo 2020). Sebuah kontingen khusus dengan bendera “Refugee Olympic Team” kembali tampil untuk kedua kalinya di pesta akbar Olimpiade.

Sejarah Olimpiade tidak hanya soal olahraga dan prestasi. Pesta multi-sport event ini pun pernah disusupi berbagai agenda politik. Mulai dari 'the Nazi Olympics' (Berlin 1938). Lalu saling boikot antara Blok Barat dan Blok Timur yang terjadi di Moscow 1980 dan Los Angeles 1984. Hingga isu HAM yang sempat membayangi Beijing 2008, dan lain-lain.

Jumat, 23 Juli 2021 lalu, sebuah kontingen dengan bendera Olimpiade ikut tampil bersama seluruh peserta dari 206 negara. Uniknya, kontingen yang diberi nama “IOC Refugee Olympic Team” bisa dibilang mewakili sebuah ‘negara’ tanpa negara. Pasalnya, inilah kontingen yang terdiri dari 29 atlet itu berstatus pengungsi dari 11 negara. Antara lain, Afghanistan, Kongo, Irak, Sudan, Suriah, dan lain-lain.

Tim Olimpiade Pengungsi di Tokyo 2020. Sumber: getty image/ www.olympics.com
Tim Olimpiade Pengungsi di Tokyo 2020. Sumber: getty image/ www.olympics.com

Kontingen ini resminya bernama EOR (Equipe Olympique des Refugies). Dibentuk oleh IOC (International Olympic Committee) dan UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) yang berbasis di Jenewa, inilah kali kedua mereka tampil di Olimpiade setelah yang pertama di Olimpiade Musim Panas 2016 di Rio de Janeiro (Rio 2016). 

IOC mungkin tidak berpolitik. Meskipun organisasi nirlaba yang sangat berpengaruh ini sudah seperti sebuah negara saja. Dan pembentukan tim pengungsi pun secara tidak langsung mengangkat krisis pengungsi ke dunia internasional melalui pentas Olimpiade.

Betapapun, nuansa politik yang dihembuskan IOC tidak ada artinya dibandingkan berbagai insiden politik yang pernah melanda beberapa pesta Olimpiade sebelumnya. Salah satu di antaranya adalah '1936 Summer Olympics' atau kerap disebut “The Nazi Olympics” yang merujuk ke propaganda Nazi waktu itu.

Berlin menyambut Olimpiade Musim Panas 1936. Sumber: www.pbsinternational.com
Berlin menyambut Olimpiade Musim Panas 1936. Sumber: www.pbsinternational.com

Berlin terpilih sebagai tuan rumah '1936 Summer Olympics' pada tahun 1931. Namun, pasca pemilihan itu, Partai Nazi kian menanjak di Jerman. Dan ketika Nazi akhirnya berkuasa sepenuhnya pada tahun 1933, ajakan boikot pun merebak di berbagai negara Eropa Barat.

Seperti diduga. Kebijakan rasis Jerman dan pelanggaran hak asasi manusia menjadi penyebabnya. Meskipun demikian, ternyata masih ada 49 negara yang mengikuti Olimpiade di Berlin. Jumlah peserta Olimpiade terbanyak sampai saat itu.

Pemerintahan Nazi Jerman tentu saja tidak menyia-nyiakan peluang itu. Berada di pusat sorotan dunia, Jerman yang dipimpin Adolf Hitler pun memamerkan kehebatan negara itu. Baik sebagai sebuah negara yang maju, maupun sebagai bangsa yang ramah. Pada saat yang sama, Hitler tidak ragu melakukan propaganda superioritas ras Arya yang dibanggakannya.

Hitler & Nazi Olympics- Berlin. Sumber: Reuters/Topham/www.qz.com
Hitler & Nazi Olympics- Berlin. Sumber: Reuters/Topham/www.qz.com
Surat kabar milik Partai Nazi, Volkischer Beobachter, bahkan menyarankan atlet Yahudi dilarang ikut kompetisi Olimpiade. Tentu saja, IOC menolaknya. Tidak itu saja, IOC juga mengharuskan pemerintah Jerman untuk menerima atlet Yahudi yang memenuhi syarat di tim mereka.

Alhasil, Helene Mayer yang keturunan Yahudi mewakili Jerman di anggar wanita. Sementara itu, Jesse Owens, atlet AS keturunan Afrika-Amerika dan pemegang rekor sprinter dan lompat jauh, memenangkan empat medali emas. Sukses Owens pun dianggap ikut mempermalukan Hitler yang begitu mengagulkan superioritas ras Arya.

Jesse Owens yg sukses meraih 4 medali emas di Berlin. Sumber: AP/ nydailynews.com
Jesse Owens yg sukses meraih 4 medali emas di Berlin. Sumber: AP/ nydailynews.com

Kisah lengkapnya bisa dibaca di artikel menarik karya Kompasianer Walentina Waluyanti di “Kisah Olimpiade di Bawah Kekuasaan Rezim Hitler”.

Tensi politik di dunia sejatinya belum mereda pasca Perang Dunia II (PD II). Namun, Olimpiade Musim Panas 1948 akan tetap diadakan di London. Sebelum London 1948 itu, Olimpiade XII (1940 Summer Olympics) yang awalnya direncanakan di Tokyo dan kemudian pindah ke Helsinki telah dibatalkan akibat pecah PD II.

Logo Olimpiade London 1948. Sumber: IOC /wikimedia
Logo Olimpiade London 1948. Sumber: IOC /wikimedia
Pun demikian dengan '1944 Summer Olympics' yang sedianya berlangsung di London pada tahun itu, tapi terpaksa dibatalkan. Akan tetapi, London masih beruntung. Ibu kota Inggris ini masih diberikan hak sebagai Tuan Rumah untuk Olimpiade berikutnya, yakni '1948 Summer Olympics' atau London 1948.

London 1948 adalah olimpiade pertama usai PD II. Sebuah pesta olahraga yang seyogyanya menjadi arena untuk menyembuhkan luka perang. Akan tetapi, itu belum terjadi di London. Dua negara pemicu perang dunia, yakni Jerman dan Jepang tidak diundang. Sedangkan, Uni Soviet yang diundang juga menolak berpartisipasi.

Olimpiade di London 1948. Sumber: Haywood Magee/Picture Post/Getty/www.thoughtco.com
Olimpiade di London 1948. Sumber: Haywood Magee/Picture Post/Getty/www.thoughtco.com
Seperti kota-kota di Eropa lainnya, London masih belum sepenuhnya pulih akibat perang dunia. Kota ini pun bak berpacu dengan waktu. Wembley Stadium pun menjadi pusat perhelatan pesta Olimpiade saat itu. Baik sebagai venue pembukaan, maupun berbagai perlombaan di cabor atletik.

Menariknya, Olympic Way atau populer disebut Wembley Way, yakni sebuah jalan yang menghubungkan stadion itu dengan stasiun kereta London Underground (Wembley Park tube station) konon dibangun para tahanan perang asal Jerman yang ditahan di Inggris.

Olympic Way (Wembley Way)-London. Sumber: Richard Croft / wikimedia
Olympic Way (Wembley Way)-London. Sumber: Richard Croft / wikimedia
Bukan Jerman namanya jika tidak berhasil mencuri perhatian dunia. Bahkan setelah banyak kotanya hancur akibat kekalahan selama Perang Dunia II, negara besar ini mampu bangkit kembali. Sekalipun telah terbagi menjadi dua negara, yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur.

Tidak heran, IOC pun sekali lagi memberikan kesempatan ke Jerman (baca: Jerman Barat) untuk menjadi Tuan Rumah '1972 Summer Olympics' atau Munich 1972. Inilah Olimpiade Musim Panas terbesar yang pernah berlangsung di era itu. Dan Olimpiade ini pula diharapkan sekali lagi membawa pesan perdamaian dunia.

Munich Olympic Park, lokasi utama Olimpiade 1972. Sumber: Tiia Monto / wikimedia
Munich Olympic Park, lokasi utama Olimpiade 1972. Sumber: Tiia Monto / wikimedia
Sayang sekali, harapan itu tidak terwujud. Munich 1972 justru selamanya dikenang sebagai salah satu Olimpiade paling berdarah dalam sejarah Olimpiade. Di kota Munich inilah terjadi serangan teroris yang mengakibatkan terbunuhnya 11 atlet asal Israel dan seorang polisi.

Peristiwa yang menghebohkan dunia ini kemudian dikenal sebagai “Munich Massacre” (Pembataian Munich) dan juga dikenal sebagai “Black September”, nama kelompok militan Palestina saat itu. Kisah menyedihkan di pentas olimpiade ini pun pernah diangkat oleh Steven Spielberg dalam film “Munich” (2005).

Poster film
Poster film "Munich". Sumber: www.m.imdb.com
PD II tidak hanya meninggalkan kehancuran di negara-negara yang kalah perang. Di kelompok negara pemenang pun timbul berbagai konflik yang berujung ke Perang Dingin (Cold War) di antara dua kubu, yakni Blok Barat yang dimotori anggota NATO dan Blok Timur yang didukung Pakta Warsawa.

Kota Moskwa seharusnya menyambut ceria musim panas nan cemerlang di bulan Juli - Agustus 1980 itu. Apalagi ibu kota Uni Soviet (kini Russia) sedang bersiap menjadi Tuan Rumah Olimpiade Musim Panas (Moscow 1980) yang pertama kali berlangsung di negara Blok Timur.

Olimpiade Musim Panas 1980 di Moskwa yg diboikot AS dan sekutunya. Sumber: www.olympics.com
Olimpiade Musim Panas 1980 di Moskwa yg diboikot AS dan sekutunya. Sumber: www.olympics.com
Namun, akibat invasi Uni Soviet ke Afghanistan, puluhan negara di dunia, termasuk Jerman Barat dan Jepang, ikut memboikot pesta Olimpiade ini. Uni Soviet pun meradang. Boikot yang didukung Amerika Serikat itu pun berhasil mengurangi jumlah negara peserta turun drastis. Dari 120 menjadi 81. Jumlah peserta terendah sejak tahun 1956.

'1980 Summer Olympics' pun seakan menjadi awal aksi boikot memboikot berikutnya. Dan persis seperti diduga. Uni Soviet dan negara-negara pendukungnya bakal membalas boikot AS dan sekutunya itu. Dan itulah yang terjadi di Olimpiade Musim Panas 1984 yang berlangsung di kota Los Angeles, AS.

Kartun yang menggambarkan boikot di Olimpiade Moskwa. Sumber: Boris Efimov/ www.insidethegames.biz
Kartun yang menggambarkan boikot di Olimpiade Moskwa. Sumber: Boris Efimov/ www.insidethegames.biz

Pesta Olimpiade bertajuk '1984 Summer Olympicsyang lebih dikenal sebagai Los Angeles 1984 memang tercatat sebagai Olimpiade Musim Panas tersukses. Baik dari aspek penyelenggaraan maupun secara finansial.

Namun, harus diakui, secara kompetisi, Olimpiade ini pun tidak berbeda jauh dengan Olimpiade sebelumnya di Moskwa. Betapa tidak, beberapa negara kuat di Olimpiade kembali tidak hadir. Jika di Moskwa, AS dan sekutunya menolak berpartisipasi. Kali ini giliran Uni Soviet dan 13 negara Sosialis lainnya yang memboikot. Meskipun dengan alasan berbeda.

Berita Soviet mengundurkan diri dari LA 1984. Sumber: Today in History / twitter.com
Berita Soviet mengundurkan diri dari LA 1984. Sumber: Today in History / twitter.com
Uni Soviet menuduh AS telah melanggar semangat Olimpiade dengan menggunakan pentas olahraga terbesar di dunia itu sebagai ajang mengeruk keuntungan. Pasalnya, inilah pertama kali sebuah organisasi penyelenggara memaksimalkan dukungan dunia korporasi untuk menyelenggarakan hajatan raksasa ini.

Tudingan Uni Soviet itu tidak menggoyahkan IOC. Dan sejak '1984 Summer Olympicsdi Los Angeles itulah, setiap penyelenggaraan Olimpiade berikutnya tidak pernah lepas dari dukungan para sponsor besar. Apalagi biaya penyelenggara kian besar dari waktu ke waktu.

Olimpiade Los Angeles 1984. Sumber: Getty / www.history.com
Olimpiade Los Angeles 1984. Sumber: Getty / www.history.com
Olimpik dan politik memang kerap bersanding di berbagai pesta Olimpiade. Tidak hanya di Olimpiade yang sudah disebutkan di atas. Tidak sekedar boikot, tetapi juga protes keras. Dan protes pun bisa saja berujung maut. Setidaknya itu yang pernah terjadi di Olimpiade Musim Panas di Mexico City pada tahun 1968.

Sepuluh hari jelang pembukaan Olimpiade, mahasiswa Mexico menggelar protes menentang penggunaan uang negara untuk pesta Olimpiade daripada program sosial. Tentara Mexico rupanya merespons keras. Akibatnya, lebih dari 200 pemrotes jatuh tertembak. Tragis!

Protes Mahasiswa di Mexico yg berujung maut. Sumber: Cel-li / wikimedia
Protes Mahasiswa di Mexico yg berujung maut. Sumber: Cel-li / wikimedia
Namun, Olimpiade juga menyisipkan semangat solidaritas yang layak dikenang. Seperti yang terjadi di Montreal 1976 yang diwarnai aksi boikot negara-negara Afrika karena keikutsertaan Selandia Baru. Apa pasal? Rupanya Selandia Baru dianggap telah melukai hati negara-negara Afrika akibat kunjungan Tim Rugby-nya ke Afrika Selatan. Maklum saja, Afrika Selatan masih menganut sistem apartheid saat itu.

Penentang Olimpiade Tokyo 2020. Sumber: Carl Court /Getty/Time.com
Penentang Olimpiade Tokyo 2020. Sumber: Carl Court /Getty/Time.com

Olimpiade di era modern mungkin tidak akan pernah terlepas dari isu politik. Olimpiade Tokyo 2020 pun bisa saja terlibat pusaran politik. Tergantung sukses tidaknya Olimpiade di era pandemi ini. Jika pada akhirnya sukses, masyarakat Jepang mungkin segera melupakan semua protes jelang pembukaan Olimpiade ini.

Bagaimana kalau gagal? Ah, anggap saja sukses. Biar PM Jepang Yoshihide Suga bisa tidur nyenyak. :)

***

Kelapa Gading, 1 Agustus 2021

Oleh: Tonny Syiariel

Referensi: 1, 2, 3

Catatan: Semua foto yg digunakan sesuai keterangan di masing-masing foto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun