Mohon tunggu...
Tonny Mustika
Tonny Mustika Mohon Tunggu... profesional -

Tonny (atau Tonny Mustika) adalah seorang akademisi, peneliti, aktivis, psikolog, dan praktisi meditasi Chan (Jp. Zen) yang saat ini berdomisili di Surabaya, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Psikologi Indonesia: Dilema Antara Sains dan Keyakinan dalam Kasus Homoseksualitas

2 Mei 2014   04:45 Diperbarui: 22 Februari 2016   15:06 1643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sedianya ilmu psikologi dapat menggantikan posisi agama dalam memberikan informasi tentang kesehatan jiwa yang lebih objektif dan teruji kepada masyarakat awam. Namun hal demikian tidak terjadi karena di negara seperti Indonesia --yang meskipun bukan negara yang berdasarkan agama namun agama memiliki posisi yang penting-- pertimbangan teologis menguasai hampir seluruh ranah kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam hal ini adalah komunitas keilmuan psikologi, termasuk psikolog di dalamnya.

Tentu saja hal demikian bukanlah masalah selama seorang psikolog dapat tetap netral dan mengutamakan pertimbangan profesional dalam menjalankan fungsinya melakukan asesmen dan intervensi psikologis. Kendati demikian kondisinya menjadi lebih sulit ketika seorang psikolog dihadapkan dengan dilema yang melibatkan konflik antara sains dan keyakinan tradisional yang dianutnya. Dalam kasus ini, salah satu contohnya adalah soal homoseksual.

Secara keilmuan psikologi, baik dalam panduan diagnosis gangguan psikologis milik American Psychiatric Association (APA) yang dikenal sebagai DSM-V maupun dalam panduan milik WHO yang dikenal sebagai ICD 10, juga dalam PPDGJ-III yang merupakan terjemahan dari ICD-10 dan diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI, homoseksual dinyatakan bukan lagi gangguan psikologis sejak tahun 1970-an. Bersama dengan heteroseksual dan biseksual, homoseksual dianggap sebagai varian orientasi seksual yang normal.

Kendati pada awalnya terdapat beberapa kontroversi mengenai pencabutan homoseksual dari daftar gangguan psikologis, dan hal ini wajar terjadi dalam dunia sains, namun akhir-akhir kesepakatan di antara para ahli semakin bulat mengenai hal ini. Bahkan psikiater paling gigih menolak hal tersebut, Dr. Robert L. Spitzer, pada akhirnya luluh dan menyatakan penyesalannya karena selama ini telah mendukung usaha 'penyembuhan gay' ('gay cure') yang menurut penyelidikan WHO terbukti berbahaya bagi kesejahteraan jiwa orang yang menjalaninya (Psychiatry Giant Sorry for Backing Gay ‘Cure’, 2012). Sebelumnya, pada tahun 2009, American Psychological Association (APA) mengeluarkan resolusi yang menolak 'terapi penyembuhan homoseksual' ('reparative therapy') berdasarkan temuan riset yang menunjukkan bahwa terapi demikian memicu depresi dan kecenderungan bunuh diri pada klien yang menjalaninya ("Psychologists Reject Gay ‘Therapy," 2009).

Persinggungan antara psikologi dan agama juga pernah disinggung oleh APA pada tahun 2007. Dalam sebuah resolusi, APA menolak psikolog yang mencampuradukan antara keyakinan agama dengan sains:

While we are respectful of religion and individuals’ right to their own religious beliefs, we also recognize that science and religion are separate and distinct. For a theory to be taught as science it must be testable, supported by empirical evidence and subject to disconfirmation. (APA, 2007)

[Sementara kami menghargai agama dan hak berkeyakinan agama perseorangan, kami juga mengakui bahwa sains dan agama adalah terpisah dan berbeda. Dikarenakan teori yang diajarkan sebagai sains harus dapat diuji, didukung bukti empirik dan dapat dipertanyakan. (APA, 2007)

Agama,  menurut APA, bukanlah sains, oleh karena itu adalah keliru jika menggunakan nilai-nilai dan keyakinan agama sebagai dasar untuk keilmuan psikologi.

Dalam sebuah laporan yang berjudul "Report of the American Psychological Association Task Force on Appropriate Therapeutic Responses"(Glassgold et al. 2009), APA menyoroti hubungan antara keyakinan agama psikolog dengan upaya untuk menerapkan terapi 'penyembuhan homoseksual' dan kecenderungan keyakinan agama konservatif pada orang-orang yang memilih untuk menjalaninya meski berdampak negatif pada dirinya. Sebagai ganti dari terapi yang berusaha mengubah orientasi seksual seseorang, para psikolog dalam tim yang menyusun laporan ini menyarakan agar terapi dilakukan untuk menerima, mendukung, memahami dan memfasilitasi  klien untuk secara aktif melakukan coping, mencari dukungan sosial, serta eksplorasi dan pengembangan identitas.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Patut diduga bahwa para psikolog di Indonesia, baik secara halus maupun secara vulgar, cenderung menggunakan referensi yang berasal dari agamanya ketimbang referensi yang berasal dari keilmuannya dalam menyikapi kasus-kasus terkait persoalan orientasi seksual yang berbeda. Seorang psikolog profesional di Indonesia, misalnya, ketika diwawancarai terkait diagnosisnya pada kasus Ryan, seorang homoseksual yang menjadi pembunuh berantai, meskipun menyebutkan bahwa “Penyimpangan seksual tidak berhubungan dengan perilaku kriminal,” namun demikian pernyataan itu sekaligus secara implisit menyebut homoseksual sebagai “penyimpangan seksual” ("Prof Dr Yusti Probowati Rahayu Dan Analisisnya Tentang Jagal Asal Jombang," 2008).

Kasus lain yang lebih menyolok adalah seorang psikolog di Aceh yang yang ketika diwawancarai sebuah media memperingatkan para orang tua agar menjauhkan anak-anaknya dari homoseksual, psikolog tesebut juga menyebut homoseksual “penyimpangan” dan “disorientasi seksual”, dan secara terang-terangan ia juga mengkaitkan homoseksual dengan prostitusi dan dosa ("Komunitas Lesbi Incar Kampus," 2014).

Di Bandung, seorang psikolog, bukan saja menyebut homoseksual itu menyimpang, melampaui pengetahuan profesionalnya ia beralih ke solusi teologis dengan  menyarankan perlu diperkuatnya "nilai-nilai  agama" sebagai pencegahan agar seseorang tidak menjadi homoseksual:

"Faktor lingkungan lebih berbahaya dibandingkan hormon. Pengaruh lingkungan lebih cepat, di mana seorang yang sedang drop, tidak didukung norma, dan nilai-nilai agama yang kuat bisa terjerumus akibat sentuhan orang sejenis yang menyimpang.'' ("Penyebab Homo dan Lesbi, Lingkungan Lebih Bahaya dari Hormon," 2013)

Pendapat demikian dijiplak mentah-mentah oleh khalayak umum tanpa pernah benar-benar menyelidiki kebenarannya, kalau bukan sama sekali tidak peduli. Dalam sebuah konsultasi keagamaan "konsultasi syariah", konselornya yang tidak lain adalah seorang ustadz sekaligus memasang gelar dokter di depan namanya, dengan yakin menjawab bahwa "Gay (homoseksual) termasuk gangguan mental dan termasuk penyakit hati" ketika ia ditanyai seseorang yang mengaku ingin 'sembuh' dari homoseksual ("Ingin Sembuh Dari Gay," 2013).

Hal demikianlah yang memancing tindakan represif dari aparat Satpol PP di Surabaya yang dalam sebuah operasi tempat hiburan malam dengan menahan sekelompok perempuan yang dicurigai sebagai "komunitas lesbi." Kepada wartawan, Kepala Satpol PP Surabaya Irvan Widyanto, mengatakan akan membawa para perempuan yang dicurigai sebagai lesbian itu ke psikolog Bappenas untuk dibina  ("Jaring Komunitas Lesbi dan Anak di Bawah Umur," 2013).

Jelas sekali, ditinjau dari kasus-kasus di atas, yang merupakan segelintir saja dari kejadian serupa di Indonesia, kita dapat melihat adanya kesalahan yang berulang-ulang dan cenderung sistematis untuk mempertahankan persepsi dan stigma negatif bahwa homoseksual adalah gangguan psikologis, ataupun penyimpangan seksual. Dalam hal ini, sebagian psikolog profesional Indonesia, yang sangat mungkin sebagian besar dilandasi oleh alasan teologis, ikut terlibat di dalamnya untuk memberikan legitimasi pada pandangan demikian. Ketika dihadapkan pada konflik nilai antara sains dan keyakinan yang dianutnya, para psikolog di Indonesia memilih mengikuti keyakinan agamanya.

Selain karena nilai-nilai keagamaan yang dianutnya, alasan penolakan yang paling sering dikemukakan di sebagian kalangan psikolog dan religius di Indonesia terhadap homoseksual pada dasarnya dilandasi oleh keyakinan bahwa pencabutan homoseksual dari daftar gangguan psikologi bersifat politis belaka. Menurut keyakinan ini, pencabutan itu terjadi karena gerakan LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) di dunia yang semakin kuat.

Meskipun alasan ini tidak sepenuhnya keliru, karena gerakan LGBT di Amerika Serikat saat pencabutan homoseksual dari gangguan psikologis pada masa itu sangat gencar, namun pencabutan homoseksual dari daftar gangguan jiwa bukan dilandasi dengan tanpa alasan  sama sekali. Sebaliknya, alasan pencabutan tersebut sangat kuat. Dalam dokumen APA (1973; file dalam bentuk PDF) alasan pencabutan homoseksual dari dari daftar gangguan psikologis antara lain sebagai berikut:

  1. Dari semula tidak semua ahli sepakat bahwa homoseksual adalah gangguan psikologis, ada ahli yang menanggapnya demikian namun ada ahli yang melihatnya sebagai varian orientasi seksual yang normal.
  2. Pada sebagian populasi homoseksual tidak memperlihatkan tanda-tanda adanya gangguan psikopatologi, selain bahwa ia adalah homoseksual, dan dapat berfungsi secara optimal. Artinya adalah bahwa selain orientasi seksualnya yang berbeda, mereka tampak sama 'normal'-nya dengan orang pada umumnya.
  3. Masalah psikologis terjadi pada sebagian  homoseksual yang menolak orientasi seksualnya, artinya ingin mengubah orientasi seksualnya. Hal ini terjadi karena adanya tekanan sosial dan budaya dari masyarakat di sekitarnya yang diinternalisasi.
  4. Tidak ada metode intervensi yang dapat mengubah orientasi seksual seseorang.

Hingga saat ini, argumen-argumen di atas masih relevan untuk dipertahankan. Oleh karena itu hingga revisinya yang keempat kalinya sejak homoseksual dikeluarkan dari DSM, keputusan tersebut tetap dipertahankan. Bahkan keputusan yang sama akhirnya diadopsi dan dipertahankan oleh WHO melalui ICD hingga saat ini dengan dukungan sejumlah penelitian yang membuktikan bahwa semakin hari keputusan tersebut semakin benar.  Hanya saja konsensus ilmiah ini dengan entengnya dinisbikan oleh sekelompok psikolog dan psikiater yang ternyata lebih berorientasi pada kebenaran etis keyakinan agamanya ketimbang pertimbangan-pertimbangan yang lebih ilmiah.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun