Oleh : Tomi Ujung
    Di era digital yang serba cepat ini, dunia pendidikan sering terjebak pada pencapaian akademik dan kemampuan teknologi semata. Nilai moral dan pembinaan karakter kerap menjadi aspek yang terpinggirkan. Akibatnya, banyak peserta didik yang pintar secara intelektual tetapi lemah dalam budi pekerti. Kondisi ini mengingatkan kita untuk kembali menengok pemikiran tokoh klasik Islam seperti Ibnu Miskawaih, seorang filsuf dan pendidik yang menempatkan akhlak sebagai inti dari seluruh proses pendidikan.
   Ibnu Miskawaih, pemikir abad ke-10 yang dikenal melalui karya monumental Tahdzib al-Akhlq, menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah usaha menyucikan jiwa (tazkiyah al-nafs) dan mengarahkan potensi manusia menuju kesempurnaan moral. Baginya, pendidikan tidak berhenti pada transfer pengetahuan, melainkan harus mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan hakiki (sa'adah) melalui keseimbangan antara akal, emosi, dan perilaku.
konsep pendidikan Ibnu Miskawaih mencakup tiga dimensi penting:
1. Pendidikan jasmani, untuk menjaga kesehatan dan kesiapan beramal.
2. Pendidikan jiwa, guna menanamkan akhlak dan menundukkan hawa nafsu.
3. Pendidikan sosial, yang menumbuhkan empati dan tanggung jawab terhadap masyarakat.
  Gagasannya masih sangat relevan dengan kondisi pendidikan modern yang cenderung menilai keberhasilan dari angka dan prestasi. Menurut Ibnu Miskawaih, guru bukan hanya pengajar ilmu, melainkan panutan moral dan pembimbing spiritual. Keteladanan lebih efektif daripada sekadar teori atau nasihat.
  Pemikirannya juga sejalan dengan program pendidikan karakter yang kini digaungkan di Indonesia. Ia menekankan bahwa moralitas tidak cukup diajarkan secara teoritis, tetapi perlu dilatih melalui kebiasaan dan lingkungan yang positif --- suatu proses yang ia sebut pembiasaan kebajikan (habitual virtue).
  Di tengah tantangan zaman digital yang sering melunturkan nilai etika, pemikiran Ibnu Miskawaih menawarkan solusi yang menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual dan kematangan spiritual. Pendidikan Islam masa kini perlu menghidupkan kembali prinsip ini agar tidak hanya menghasilkan individu cerdas, tetapi juga manusia yang berakhlak, reflektif, dan bermanfaat bagi sesama.
   Sebagaimana pesan sang filsuf, "Hakikat pendidikan adalah membentuk manusia yang mengenal dirinya, menjaga kehormatannya, dan memberi manfaat bagi orang lain." Sebuah nilai yang tetap relevan untuk membangun generasi beradab di tengah kemajuan teknologi dan modernitas.