Mohon tunggu...
Muhammad Fatkhurrozi
Muhammad Fatkhurrozi Mohon Tunggu... Insinyur - fantashiru fil ardh

Pengamat politik

Selanjutnya

Tutup

Money

RUU Migas Lagi-lagi Kandas

19 Oktober 2019   06:47 Diperbarui: 19 Oktober 2019   07:06 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rancangan UU Migas, yang sejak 2010 masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI, hingga kini masih belum bisa diundangkan. Merupakan sebuah 'prestasi' yang fenomenal, mengingat sudah tiga kali kursi DPR berganti 'pantat' namun tidak didapati terbitnya UU Migas yang baru, yang menggantikan UU Migas nomor 22 tahun 2001. Padahal, posisi UU tersebut sangatlah vital. 

Kepala divisi teknologi SKK Migas, Benny Lubiantara menilai bahwa kepastian hukum adalah faktor penting dalam meningkatkan daya tarik investasi migas[1]. Harapannya, jika UU tersebut bisa goal, tata kelola migas kita bisa segera diperbaiki.

 Soal kepastian hukum ini memang sangat fatal. Penelitian Fraser Institute yang berasal dari Kanada yang bertajuk "Global Petroleum Survey 2017" didapati hasil bahwa Indonesia menempati posisi 92 dari 97 negara soal iklim investasi migas. 

Indonesia tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia di posisi 57, Brunei (40), Thailand (36), dan Vietnam (61)[2]. Ketidakpastian hukum dan sistem perpajakan yang rumit dituding menjadi biang keladi buruknya investasi di bidang migas.

Namun kinerja anggota dewan masih belum dapat diharapkan. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) memberi raport merah pada DPR periode 2014-2019. Pasalnya, banyak rancangan undang-undang (RUU) yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) namun tidak goal pada periode tersebut. 

Sedangkan menurut perhitungan Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Veri Junaidi, dalam 5 tahun terakhir DPR, hanya menyelesaikan 22,63 persen RUU yang sudah dimasukkan dalam prolegnas[3].

UU Migas sudah beberapa kali mengalami pembatalan pasal dan revisi oleh Mahkamah Konstitusi. Banyak pengamat memandang bahwa UU tersebut belum sesuai kepentingan bangsa. Berbagai pembahasan telah dilakukan, melibatkan anggota dewan, menteri, tenaga ahli, pengamat, ormas, dan bejibun pemangku kepentingan. 

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai bahwa revisi UU Migas sangat lambat meskipun berulang kali masuk ke Prolegnas. Dia berujar bahwa karena banyak kepentingan drafnya pun berganti-ganti[4].  

Salah satu poin utama dan yang paling menyedot energi adalah soal pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) Migas, yakni badan yang menjadi pemegang kuasa pertambangan yang akan menggantikan posisi SKK Migas saat ini. 

BUK tersebut akan menandatangani kontrak-kontrak Production Sharing Contract (PSC) dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sekaligus melakukan usaha hulu migas. 

Yang membuat pembahasan menjadi rumit adalah posisi BUK Migas, apakah berada di bawah koordinasi presiden atau di bawah kementerian BUMN. 

Karena posisinya sebagai pemegang kuasa pertambangan, maka beberapa kalangan menilai bahwa BUK Migas lebih cocok di bawah presiden. Namun sebagian berpendapat bahwa BUK Migas lebih cocok di bawah kementerian BUMN mengingat adanya suntikan modal dari APBN di samping juga perannya sebagai badan usaha.

Setelah pembahasan panjang dan alot, pada September 2018 lalu, DPR telah menyepakati RUU Migas yang memuat sembilan poin penting. Yang paling pokok yakni soal bentuk BUK Migas. Menurut RUU Migas, rencananya, BUK akan berbentuk BUMN. 

BUK migas juga akan mengambil peran SKK Migas saat ini, yakni pihak yang mewakili negara dalam berkontrak dengan KKKS. Terkait perusahaan yang akan menjadi BUK migas, DPR menyerahkannya kepada pemerintah. Bisa Pertamina atau lembaga BUMN baru[5].

Perkembangan terakhir, pada Juni 2019 lalu, pembahasan RUU Migas sudah di taraf penggodogan Daftar Isian Masalah (DIM) oleh pemerintah. DPR masih menunggu pemerintah merampungkan DIM tersebut. Pihak pemerintah, diwakili Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM mengatakan bahwa pemerintah sudah menyusun DIM. Hanya tinggal menunggu Menteri yang belum tanda tangan. Masalah sebenarnya tidak berhenti di situ. 

Berikutnya ada soal anggota DPR yang dijabat oleh orang baru, yang berarti perlu ada perumusan Prolegnas baru, pembentukan Panitia Kerja baru, dan pengkajian yang baru. Ketok palu UU Migas baru nampaknya masih terus molor[6]. 

Ada masa transisi yang memperpanjang dan menambah ketidakpastian lahirnya UU Migas yang anyar. Belum lagi soal regulasi turunan pasca UU terbit. Karena UU belum memuat detail pengaturan migas, perlu regulasi tambahan semacam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri agar kebijakan dapat dieksekusi. Waktunya pun juga tidak bisa sebentar. Pelaku industri migas terus digantung-gantung.

Di satu sisi, tantangan teknis dalam penemuan sumur baru akan semakin sulit. Seiring eksplorasi demi eksplorasi dilakukan, sumur cheap oil, sumur yang minyaknya di kedalaman kurang dari 1000 m, kini sudah hampir punah. Rata-rata minyak mentah hari ini harus disedot dari kedalaman 5000 m[7]. 

Artinya, pelaku industri dihadapkan pada kebutuhan teknologi mutakhir yang tentu mahal. Dibutuhkan insentif ekstra untuk meningkatkan keekonomian lapangan migas secara nasional.

Sebenarnya tidak sulit-sulit amat membaca Indonesia dalam kemelut migas tersebut. Minimal ada dua kepalsuan soal khittah permigasan negeri ini. Pertama soal keinginan (presiden) kita untuk menggenjot investasi namun di satu sisi berlaku agenda nasionalistik, dibuktikan dengan takover dua blok raksasa oleh perusahaan pelat merah Pertamina. 

Ada keinginan supaya pasar bebas dapat bekerja namun ekonomi dibawa kepada kondisi yang serba negara. Pasca ambilalih Blok Mahakam dari Total pada 2015 dan Blok Rokan dari Chevron pada 2018, pengamat internasional deras mengkritik. Pengamat melihat bahwa ambilalih tersebut merupakan populisme sesaat demi mengamankan kontes Pilpres 2019.

 Yang kedua adalah soal keinginan membesarkan Pertamina namun disatu sisi ada beban subsidi yang mesti ditanggungnya. Hal ini memang ironi. Padahal, modal besar mutlak diperlukan demi kelincahan bisnis Pertamina. 

Keduanya dapat kita baca sebagai bahan kampanye. Keinginan membesarkan Pertamina disampaikan saat 2014 silam, sedangkan kebijakan tanggungan subsidi Pertamina dieksekusi pada 2017-2019.

Dari fenomena di atas, kita bisa menyimpulkan belum adanya arah yang jelas soal pengelolaan migas. Dari rezim ke rezim kita dipertontonkan kebijakan populis demi mengamankan kepentingan sesaat. Pasca presiden baru terpilih pada Mei 2019 lalu, para elit berebut kue kekuasaan, termasuk yang paling lezat adalah jabatan menteri di bidang migas. 

Revisi undang-undang yang vital bagi kepentingan rakyat seolah bukan persoalan penting. Selain UU Migas, ada UU Minerba yang juga mangkrak. Sedangkan revisi UU KPK, yang bahkan tidak masuk Prolegnas, bisa ketok palu setelah pembahasan yang cukup selama 15 hari.

Pemerintahan hari ini jelas bukan cerminan good governance. Kita masih digelari negara berkembang, dengan segala perburuan rente dan rantai mafianya. Ada persoalan sistemis yang menuntut untuk diselesaikan. Tiga kali berganti anggota dewan, UU Migas tidak kunjung beres. 

Kita dapat menerka bisa jadi ketidakberesan sebenarnya terletak pada orang-orang yang duduk di DPR, termasuk bahkan sistem pemilihannya. Di iklim demokasi hari ini yang terlampau mahal, kita sulit berharap wakil rakyat terpilih akan fokus bekerja untuk rakyat. 

Kemunkinan yang paling logis adalah mereka akan sibuk mencari cara untuk mengembalikan 'modal' yang telah dikeluarkan saat kampanya. Banyaknya anggota dewan yang diciduk KPK adalah sedikit bukti.

Indonesia jelas akan dihadapakan pada masalah energi yang serius. Kita belum fasih berbicara energi nuklir dan terbarukan, namun soal energi fosil ini memang menguras energi. Kita mengklaim sudah memiliki falsafah dalam pengelolaan migas, yang tertuang dalam UUD' 1945 pasal 33. Namun pada praktiknya, karena setiran asing, konstitusi turunannya masih jauh dari keberpihakan pada rakyat. 

Petualang demokrasi dan pemburu rente melengkapi kemelut soal migas ini. Problemnya terlalu pelik, untuk bisa diselesaikan oleh hanya sekedar ganti dengan UU yang baru. Jika hal ini masih berlanjut, kita pesimis persoalan ini bisa tuntuas, RUU Migas lagi-lagi kandas. []

 

Catatan:

[1] Lubiantara, B. (2017). Paradigma Baru Pengelolaan Sektor Hulu Migas dan Ketahanan Energi. Jakarta: PT. Gramedia.

[2] Siapa diuntungkan di Cost Recovery dan Gross Split? https://www.watyutink.com/opini/Segera-Cabut-UU-Migas-Nomor-22-Tahun-2001

[3] Banyak RUU Tak Disahkan, Kinerja DPR 2014-2019 Dinilai yang Terburuk. https://news.detik.com/berita/d-4738385/banyak-ruu-tak-disahkan-kinerja-dpr-2014-2019-dinilai-yang-terburuk/2

[4] Pemerintah dan DPR Didesak Revisi UU Migas https://bisnis.tempo.co/read/797514/pemerintah-dan-dpr-didesak-revisi-uu-migas

[5] Sembilan Poin Penting yang Disepakati Badan Legislasi dalam RUU Migas. https://katadata.co.id/berita/2018/09/10/sembilan-poin-penting-yang-disepakati-badan-legislasi-dalam-ruu-migas

[6] "DPR Sebut RUU Migas Bisa Cepat Disahkan Bila DIM Segera Masuk" , https://katadata.co.id/berita/2019/06/20/revisi-uu-migas-bisa-selesai-jika-dim-segera-ditandatangani-menteri

[7] Syeirazi, M. K. (2017). Tata Kelola Migas Merah Putih. Jakarta: LP3ES.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun