Pada kesempatan itu, Tobari juga menyinggung kondisi Indonesia.
Meskipun World Bank (2023) melaporkan bahwa rasio elektrifikasi nasional telah mencapai lebih dari 99 persen, kenyataannya masih banyak daerah terpencil seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur yang mengalami kemiskinan energi (World Bank, 2023).
"Angka nasional sering kali menutupi ketimpangan. Di lapangan, banyak masyarakat yang listriknya masih terbatas, mahal, dan tidak stabil," jelas Tobari.
Kondisi ini, bukan sekadar masalah infrastruktur energi, tetapi juga tantangan MSDM.Â
Masyarakat di daerah terpencil membutuhkan literasi energi, keterampilan manajerial, dan kepemimpinan lokal yang kuat untuk dapat mengelola sumber daya energi secara mandiri dan berkelanjutan.
Konsep Keadilan Energi
Dalam presentasi tersebut, Tobari memaparkan konsep keadilan energi yang terdiri atas tiga dimensi utama:
- Distributif: pemerataan akses, keterjangkauan, dan kualitas energi.
- Prosedural: pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
- Pengakuan: penghormatan pada nilai budaya lokal dan kelompok rentan.
Konsep ini sejalan dengan kajian akademik (Heffron & McCauley, 2017; Jenkins et al., 2021) yang menekankan bahwa keadilan energi merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan yang memanusiakan manusia (Heffron & McCauley, 2017)
Strategi Implementasi dan Dampak
Lebih jauh, pada kesempatan itu Tobari menawarkan beberapa strategi implementasi, di antaranya:
- Pemberdayaan masyarakat dan literasi energi, agar masyarakat memiliki kapasitas mengelola energi.
- Perencanaan partisipatif, supaya keputusan sesuai kebutuhan lokal.
- Tata kelola adaptif, agar kebijakan fleksibel terhadap perubahan.
- Inovasi pembiayaan, seperti koperasi energi dan blended finance untuk mengatasi kendala modal.
Ditegaskan bahwa strategi ini bukan hanya menyangkut energi, tetapi juga penguatan kapasitas SDM.