Mohon tunggu...
Tobari
Tobari Mohon Tunggu... Dosen Pascasarjana bidang Manajemen dan alumni S2 Fak.Psikologi UGM 1998 kekhususan Psikometri.

Berharap diri ini dapat bermanfaat bagi orang lain, berusaha aktif menulis artikel inspiratif. Menjadikan tulisan sebagai sarana pencerahan jiwa, agar hidup tak sekadar berjalan, tetapi bermakna untuk mencari bekal kehidupan kekal di akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelajaran dari Burung Tua: Merawat Orang Tua dengan Hati

21 Agustus 2025   06:23 Diperbarui: 21 Agustus 2025   06:49 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelajaran dari Burung Tua: Merawat Orang Tua dengan Hati

Oleh: Tobari

Konon, di alam liar ada saat ketika burung-burung yang sudah menua tak lagi kuat mengepakkan sayapnya.

Mereka tak mampu lagi terbang untuk mencari makan. Tidak ada "panti jompo" bagi mereka.

Namun, naluri kehidupan menjaga keseimbangannya: burung-burung muda datang menyuapi dan merawat burung tua yang lemah.

Benar atau tidak secara biologis, kisah ini mengandung gambaran moral yang dalam: kehidupan bertahan karena adanya kepedulian antar generasi.

Manusia, dengan akal, nurani, dan iman, semestinya jauh lebih mulia.

Bila seekor burung saja mampu menunjukkan kasih sayang kepada yang tua, maka sudah sepantasnya kita, anak-anak manusia, menjaga dan merawat orang tua di usia senja mereka.

Pesan moralnya sederhana: rawatlah ayah-ibu dengan kasih sayang yang sama seperti yang kita harapkan kelak dari anak-anak kita.

Ridha Allah Bergantung pada Ridha Orang Tua

Al-Qur'an meletakkan berbuat baik kepada orang tua persis setelah perintah bertauhid.

Allah Subhanahu wa ta'ala menegaskan: jangan sekali pun membentak, apalagi menyakiti; ucapkanlah kata-kata yang mulia, rendahkan sayap kasih, lalu doakan:

"Rabbirhamhuma kama rabbayaani shaghiraa"-"Ya Tuhanku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil." (QS. Al-Isra: 24)  

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan urutan prioritas amal yang paling dicintai oleh Allah. Ketika ditanya tentang amalan yang paling utama, beliau menjawab:

"shalat pada waktunya." Kemudian ditanya lagi, beliau menjawab: "berbakti kepada kedua orang tua." Setelah itu beliau menambahkan: "jihad di jalan Allah." (HR. al-Bukhari, No. 527). 

Susunan jawaban ini bukanlah kebetulan, melainkan penegasan bahwa bakti kepada orang tua menempati posisi puncak dalam pengabdian sosial seorang Muslim, setelah ibadah ritual yang paling utama, yakni shalat.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 

"Ridha Allah tergantung pada ridha kedua orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka kedua orang tua." (HR. al-Tirmidzi, No. 1899). 

Hadis ini menegaskan bahwa keridaan Allah kepada seorang hamba sangat erat kaitannya dengan hubungan baiknya kepada orang tua.

Oleh karena itu, berbakti kepada kedua orang tua menjadi jalan utama menuju keridaan Allah, sedangkan menyakiti mereka berarti mendatangkan murka-Nya.

Keteladanan Bakti, dari Doa Uwais hingga Nasehat Ibn 'Umar

Dalam sejarah para tabi'in, Uwais al-Qarni dikenal karena baktinya yang luar biasa kepada ibunya. Umar bin Khattab r.a. meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Sesungguhnya sebaik-baik tabi'in adalah seorang lelaki yang bernama Uwais, ia memiliki ibu dan sangat berbakti kepadanya. Andaikata ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkan sumpahnya. Jika engkau mampu agar ia memohonkan ampun untukmu, maka lakukanlah." (HR. Muslim, No. 2542a). 

Hadis ini menunjukkan bahwa kemuliaan Uwais al-Qarni bukan karena pangkat atau kedudukan, melainkan karena baktinya yang tulus kepada ibunya.

Bahkan para sahabat yang mulia dianjurkan untuk meminta doa kepadanya.

Kisah Abdullah bin 'Umar r.a. memberikan penekanan mendalam tentang hakikat berbakti kepada orang tua.

Suatu ketika beliau melihat seorang laki-laki thawaf sambil menggendong ibunya.

Ketika ditanya apakah perbuatannya itu sudah membalas jasa sang ibu, Ibn 'Umar menjawab, "Belum, bahkan tidak sebanding dengan satu desah kesakitan saat melahirkannya."

Pesan moral yang dapat diambil adalah bahwa birrul-walidayn tidak bersifat transaksional, melainkan pengabdian tanpa batas dan penuh ketulusan (Sunan Abi Dawud, Kitab al-Adab, No. 5138; lihat juga Sunnah.com, 2025).

Langkah Sederhana dalam Berbakti kepada Orang Tua dalam Kehidupan Sehari-hari

1. Mendengarkan tanpa membantah

Al-Qur'an menegaskan,

"Janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan jangan membentak mereka, tetapi ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia" (QS. Al-Isra: 23).

Ayat ini menjadi pedoman agar anak melatih kesabaran, khususnya ketika orang tua yang sudah lanjut usia sering mengulang cerita.

Tugas anak bukan hanya mendengar kata-kata mereka, tetapi juga mengendalikan emosi agar tidak melukai dengan bantahan atau keluhan.

2. Memperbanyak doa dan menyebut nama

Doa "Rabbirhamhuma kama rabbayaani shaghiraa" (QS. Al-Isra: 24). (Ya Rabb, sayangilah mereka berdua sebagaimana mereka menyayangiku ketika kecil), sebaiknya dijadikan bagian dari zikir harian.

Menyebut nama ayah dan ibu secara khusus dalam doa akan menghadirkan kelembutan hati, menumbuhkan kerendahan diri, dan mengikat kembali hubungan batin anak dengan orang tua, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.                                         

3. Menghadirkan diri secara fisik dan emosional

Kehadiran anak sering lebih berharga daripada harta.

Menemani orang tua dalam aktivitas ringan seperti berjalan pagi, menemani ke dokter, atau sekadar menelepon secara rutin, merupakan bentuk bakti yang nyata.

Kehadiran emosional, yakni mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberi rasa aman, membantu mereka melewati masa senja dengan bahagia.

4. Meringankan beban finansial dan administrative

Anak dapat menunjukkan baktinya dengan membantu mengurus keperluan orang tua, seperti pembayaran tagihan, administrasi BPJS, atau dokumen pensiun.

Tindakan ini, meskipun tampak sederhana, adalah bentuk konkret dari birrul-wlidayn yang memudahkan hidup orang tua di masa tua.

5. Menjaga martabat dan membahagiakan mereka

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Keridaan Allah tergantung pada keridaan orang tua, dan kemurkaan Allah tergantung pada kemurkaan orang tua." (HR. al-Tirmidzi, No. 1899).

Menjaga martabat orang tua dapat dilakukan dengan berbicara lembut, memuji kebaikan mereka di hadapan cucu-cucu, dan menahan diri dari perkataan yang bisa merendahkan.

Membahagiakan hati orang tua merupakan jalan tercepat untuk memperoleh ridha Allah.

Bakti Anak sebagai Warisan Generasi Selanjutnya

Bila hubungan dengan orang tua pernah retak, ingat bahwa kebaikan justru diuji di situ.

Bukan kebetulan, setelah menyebut payahnya ibu, Al-Qur'an mengajarkan doa agar kita disanggupkan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan kepada orang tua, serta diperbaiki keturunan kita.

Bakti hari ini menjadi teladan untuk anak-anak yang menyaksikan. 

Al-Qur'an memberikan perhatian besar terhadap kewajiban berbakti kepada orang tua.

Bahkan setelah menyebutkan penderitaan seorang ibu ketika mengandung dan melahirkan, Al-Qur'an mengajarkan sebuah doa yang menjadi pedoman bagi setiap anak yang ingin menunaikan bakti:

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Masa mengandungnya beserta menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa: 'Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, serta (tunjukilah aku) untuk beramal saleh yang Engkau ridhai; dan berilah kebaikan kepadaku dalam keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.'" (QS. Al-Ahqaf: 15).

Ayat ini menunjukkan tiga dimensi penting dalam bakti:

1. Syukur kepada Allah dan kepada orang tua sebagai sumber kehidupan dan kasih sayang.

2. Doa agar diberi kemampuan beramal saleh yang diridhai Allah sebagai bukti bakti.

3. Permohonan perbaikan keturunan, karena bakti bukan hanya kewajiban individual, tetapi juga teladan yang diwariskan bagi generasi berikutnya.

Oleh karena itu, bakti kepada orang tua bukan hanya ikatan emosional, melainkan juga amanah spiritual yang memiliki dampak lintas generasi.

Seorang anak yang menjaga hubungan baik dengan orang tuanya sedang meletakkan teladan bagi anak-anaknya sendiri, yang kelak akan memperlakukan dirinya dengan cara yang sama.

Amal Bakti yang Terus Mengalir Setelah Wafat

Berbakti kepada kedua orang tua tidak terputus meskipun mereka telah wafat.

Seorang anak tetap bisa menunjukkan baktinya melalui doa, meneruskan sedekah jariyah yang mereka tinggalkan, serta menjaga silaturahmi dengan kerabat dan sahabat-sahabat mereka.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi." (HR. al-Bukhari, No. 5986; Muslim, No. 2557).

Hadis ini menegaskan bahwa silaturahmi adalah salah satu jalan keberkahan hidup.

Adapun orang tua merupakan pangkal utama silaturahmi seorang anak, sehingga berbuat baik kepada mereka semasa hidup maupun setelah wafat menjadi bagian penting dari amal kebajikan yang luas keberkahannya.

Cermin Kehidupan, Bakti kepada Ayah dan Ibu

Kisah burung-burung tadi hanyalah cermin: kehidupan tetap hangat karena generasi yang kuat merawat generasi yang rapuh.

Di rumah kita, cermin itu bernama ayah dan ibu. Mungkin tangan mereka kini bergetar saat menyuap; mungkin langkah mereka melambat di jalan menuju masjid; mungkin pendengaran menurun sehingga perlu diulang.

Ulangilah, karena dulu mereka mengulang untuk kita, menyusui, menidurkan, menenangkan, mengantar sekolah, mendoakan dalam senyap.

Mari mulai hari ini. Kirim pesan pada ayah, telepon ibu. Tanyakan kabarnya, jadwalkan kunjungan, rangkul bahunya, bacakan doa pelan di telinganya.

Sebab suatu hari, kita lah "burung tua" itu, dan anak-anak kita sedang belajar dari cara kita memperlakukan orang tua: apakah kelak mereka akan menjemput kita dengan hormat, atau membiarkan kita menua sendirian.

Semoga Allah Subhanahu wa ta'ala melembutkan hati kita, melapangkan rezeki kita, dan merahmati kedua orang tua kita.

"Rabbirhamhuma kama rabbayaani shaghiraa." (QS. Al-Isra: 24)

Ditulis oleh Tobari, Dosen Pascasarjana/FEB bidang Manajemen di UM Palembang. Alumni S2 Psikologi UGM (1998) dengan kekhususan Psikometri, telah menulis lebih dari 285 artikel dan 23 judul buku, juga sebagai penulis dan editor Majalah INKUIRI LLDikti Wilayah II.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun