Mohon tunggu...
Tobari
Tobari Mohon Tunggu... Dosen Pascasarjana bidang Manajemen dan alumni S2 Fak.Psikologi UGM 1998 kekhususan Psikometri.

Berharap diri ini dapat bermanfaat bagi orang lain, berusaha aktif menulis artikel inspiratif. Menjadikan tulisan sebagai sarana pencerahan jiwa, agar hidup tak sekadar berjalan, tetapi bermakna untuk mencari bekal kehidupan kekal di akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menulis dengan Hati, Dibaca dengan Nurani

31 Juli 2025   19:41 Diperbarui: 31 Juli 2025   19:44 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar judul artikel (Dokpri)

Menulis dengan Hati, Dibaca dengan Nurani

Oleh: Tobari

Kadang, kita menulis seperti menabur benih di tanah yang tak pasti. Entah tumbuh, entah hilang ditelan angin. Kita menyusun kata demi kata dengan harapan, tapi tak tahu apakah ada yang membacanya, memahaminya, atau sekadar meliriknya. Namun, dalam keheningan itu, ada secercah cahaya. Ketika sebuah tulisan sederhana yang lahir dari suara hati, ternyata dibaca oleh ribuan orang hanya dalam hitungan dua hari lebih.

Itulah yang saya alami. Dari 271 artikel yang saya publikasikan di Kompasiana, tak pernah saya menyangka bahwa tulisan berjudul "Ketika Ilmu Tak Lagi Dihargai: Suara Hati Para Dosen" akan dibaca oleh lebih dari 10.100 pembaca hanya dalam waktu 2,5 hari.

Tangkapan layar judul artikel (Dokpri)
Tangkapan layar judul artikel (Dokpri)

Bukan angka yang biasa-biasa. Bukan pula sebuah kebetulan semata. Ada sesuatu yang bergerak di balik angka itu: hati-hati yang tersentuh, nurani-nurani yang terbangunkan, dan kerinduan yang sama akan makna sejati dari ilmu pengetahuan.

Saya tidak menulis untuk mengejar popularitas. Saya menulis karena ada kegelisahan yang tak bisa ditampung sendiri. Sebagai seorang dosen, saya menyaksikan betapa ilmu mulai kehilangan tempatnya. Dianggap barang lama yang tidak lagi relevan.

Dosen hanya dipandang sebagai pelengkap administrasi, bukan sebagai pelita yang menerangi jalan generasi. Ilmu, yang seharusnya menjadi cahaya, kini seperti lilin yang meredup di sudut ruangan.

Tulisan itu lahir bukan dari amarah, tapi dari kepedihan. Bukan untuk menyalahkan, tapi untuk mengajak merenung, dan ketika ribuan orang membacanya, saya sadar: ternyata saya tidak sendiri. Banyak yang merasakan hal yang sama. Banyak yang selama ini diam, kini menemukan suara mereka dalam tulisan itu.

Apa makna dari semua ini?

Pertama, bahwa kata-kata punya nyawa. Bila ditulis dengan kejujuran dan cinta, ia akan menemukan jalannya. Menembus layar, masuk ke hati pembaca. Kata-kata yang tulus tidak butuh promosi besar-besaran. Ia hanya butuh kejujuran penulis dan relevansi dengan nurani pembacanya.

Kedua, bahwa masyarakat masih haus akan kebenaran dan makna. Di tengah derasnya informasi instan dan sensasi, masih banyak orang yang mencari tulisan yang mengajak merenung, bukan hanya menghibur. Kita salah besar bila menganggap pembaca Indonesia hanya suka hal-hal ringan. Mereka bisa sangat mendalam bila diberi ruang dan rasa percaya.

Ketiga, bahwa menulis adalah bentuk pengabdian. Bukan sekadar menyusun huruf, tetapi merawat harapan. Setiap tulisan adalah ladang amal, terutama bila isinya menebar nilai, menyuarakan keadilan, dan menyalakan semangat.

Saya teringat sebuah hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam :

"Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim no. 1631)

Menulis ilmu yang bermanfaat, barangkali adalah salah satu bentuk sedekah jariyah yang abadi. Kita tidak pernah tahu siapa yang membacanya, siapa yang tercerahkan, atau siapa yang hidupnya berubah karenanya. Kita yakin, Tuhan akan mencatat setiap huruf yang kita tulis dengan niat baik.

Pengalaman ini memberi saya semangat baru. Menulis bukan lagi sekadar kebiasaan, tapi sebuah panggilan. Panggilan untuk menyuarakan isi hati banyak orang yang selama ini diam. Panggilan untuk menghidupkan kembali arti penting pendidikan. Panggilan untuk menjaga agar ilmu tidak hanya jadi tumpukan kertas di rak, tapi benar-benar hidup dan bermanfaat di tengah masyarakat.

Saya mengajak para pendidik, penulis, dan siapa pun yang menyimpan kegelisahan dalam hati: jangan biarkan keresahan itu terpendam begitu saja. Tulis dan tuangkan dalam kata-kata. Mungkin tulisan itu tidak langsung dikenal banyak orang. Tapi percayalah, suatu saat ia akan menemukan pembacanya, dan saat itulah, kita akan mengerti bahwa tulisan yang ditulis dengan ketulusan, akan dibaca dengan sepenuh hati.

Kita mungkin tidak bisa mengubah dunia seketika. Tapi kita bisa mengubah satu hati dalam satu waktu, dan dari sanalah perubahan besar selalu bermula.

Menulis bukan hanya urusan pena dan kertas. Ia adalah jalan sunyi menuju keabadian, sebab tidak semua orang bisa hadir di ruang publik, tapi tulisan bisa menyusup ke ruang hati yang terdalam. Bahkan ketika penulisnya telah tiada, tulisannya tetap hidup, menjadi pelita bagi yang mencari arah.

Kita mungkin tidak selalu tahu siapa yang membaca tulisan kita. Tapi bisa jadi, di suatu sudut negeri, ada anak muda yang terinspirasi. Ada guru yang dikuatkan. Ada pemimpin yang tercerahkan. Semua itu berawal dari satu keputusan sederhana: berani menulis dengan hati.

Bagi para dosen, pendidik, dan siapa pun yang mencintai ilmu, jangan biarkan kata-kata berhenti di ruang kelas. Biarkan ia menjelajah dunia lewat tulisan. Jangan menunggu dunia berubah untuk menulis. Tapi menulislah, karena lewat tulisan itulah dunia bisa berubah.

Satu tulisan mungkin tak mampu mengguncang dunia. Tapi ia bisa menggerakkan satu jiwa,  dan satu jiwa yang tersentuh, bisa menjadi awal dari lahirnya peradaban baru. Maka teruslah menulis, dengan niat baik, dengan cinta, dan dengan harapan. Siapa tahu, tulisanmulah yang akan dikenang di antara derap sejarah.

Terima kasih, para pembaca yang telah menyemangati untuk terus menulis. Sebenarnya menulis ini bukan untuk mengejar sanjungan, tetapi untuk menjaga cahaya ilmu tetap menyala. Sebab dari tulisan yang sederhana, bisa tumbuh kesadaran.

Dari cerita yang jujur, bisa lahir keberanian, dan dari satu niat yang tulus, bisa terbit perubahan. Tak perlu menunggu menjadi besar untuk memberi arti, karena sekecil apa pun tulisan kita, jika lahir dari hati, ia akan menemukan jalannya dan menyentuh kehidupan.

Mohon maaf atas segala kekurangan, semoga tulisan ini akan ada manfaatnya. Aamiin Ya Robbal Aalamiin.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun