Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

7 Tahun Hidup Merangkak Melawan Badai Kehidupan

11 April 2015   18:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:15 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1428752071199679067

[caption id="attachment_377958" align="aligncenter" width="450" caption="jangan pernah menyerah"][/caption]

7 Tahun Merangkak Melawan Badai Kehidupan

” Hari ini saya kan ulang tahun, boleh minta belikan kue ,pa ..ma.. ?” pinta putra kami, sambil memeluk kami dengan lengannya yang kurus dan pucat. Kami berdua terdiam. Tak tega untuk menjawab . Karena memang tak ada lagi uang yang tersisa,karena sudah habis untuk biaya pengobatan putra kami, yang sakit selama dua minggu.

“ Hmm ..kalau nggak ada uang,permen saja yapa”, kata putra kami sambil menggenggam tanganku dengan jemarinya yang mungil. Tak kuasa akumenahan air mataku menetes dilantai kedai kami yang kumuh.

“ Paa maa .jangan menangis…kalau nggak ada uang nggak apa apa .. “ suara putra kami dengan suara lirih.

Keikhlasan anak kecil yang hari itu genap 6 tahun ini, semakin membuat pertahanan kami jebol. Sambil berlutut, kami berdua memeluknya dengan penuh kasih sayang. Sesaat kemudian , setelah ledakan emosi kami reda, istri saya berkata kepada putra kami;” Nggak apa apa, hari inikita akan rayakan ulang tahunmu yang ke 6 ,ya sayang “

Kue Tart dari Gabus

Saya agak heran, darimana istri saya akan dapatkan uang untuk membeli kue tart. Untuk meminjam juga mustahil. Sudah lama kami dijauhi oleh sahabat dan kerabat. Bahkan ketika kami ingin bertamu, hanya diterima didepan pagar dan dengan alasan sibuk, tidak membukakan pintu pagar bagi kami berdua. Kami tahu , mereka kuatir kami akan meminjam uang. Kalau nggak apalagi urusan orang miskin mau bertamu?

Tidak tahu entah berapa lama sayaberdiri termanggu manggu. Tiba tiba putra kami bersorak :” Papa ,kuenya sudah jadii…yuk ,kitarayakan ulang tahun saya yaa”pintanya dengan wajah penuh harap. Dalam kondisi masih belum tersadar benar, apa yang sesungguhnya terjadi, tampak istri saya berjalan keluar, sambil membawa sebuah kue tart dari gabus……

Kembali tubuh saya bergetar menahan rasa haru…Kami nyalakan lilin bekas dan meletakkannya didepan kue tart yang dibuat istri saya dari gabus bekas. Kami berdoa sesaat, bersyukur bahwa putra kami sudah sembuh . Dan saat ini,kami bisa “merayakan” hari ulang tahunnya yang ke 6 . Dengan suara serak menahan tangis , kami bernyanyi :

“ Lanjut umurmu …

Lanjut umurmu

Lanjut umurmu sertamulia…

Serta mulia….serta mulia…….

Hiip huraa …hip huraa… hiip huraaa”

Dan kami berpelukan bertiga. Sambil sekali lagi bersyukur kehadirat Tuhan

Tujuh Tahun Kami Merangkak Melawan Badai Kehidupan

Terlalu panjang dan membosankan , bila saya ceritakan penderitaan demi penderitaan yang senantiasa bergayut dalam hidup kami. Serasa kami merangkak menembus badai kehidupan. Kami tidak pernah meminta kasihan siapapun,kecuali kasihan dari Tuhan.

Kami amat memahami,tak seorangpun akan mampu mengubah nasib kami, kecuali diri sendiri, Namun mengubah nasib, sungguh tidak seperti membalik telapak tangan. Singkat cerita , Tuhan mengirimkan “malaikat penolong” ,yakni salah seorangteman lama, yang mau menolong memberikan jalan untuk berusaha. Dan selangkah demi selangkah ,hidupkami berubah. Sungguh sehabis gelap,maka terbitlah terang.

15 Tahun Berselang

Serasa bagaikan mimpi. Ketika kami berada di aula California State University. Putra kami yang dulu ketika berusia 6 tahun,hanya bisa merayakan Ulang tahunnya dengan kue tart terbuat dari gabus, saat ini tepat di usianya yang ke 21 tahun. Dinyatakan :” Lulus Master of Science dengan predicate Magna Cumlaude”

Sungguh Tuhan Mahabesar dan Mahaadil. Kami bersujud syukur kehadirat Tuhan.Karena atas berkat dan kekuatan yang dianugerahkan ,kami mampu keluar dengan selamat dari amuk badai dalam kehidupan kami.

Ditempa oleh kepahitan hidup dan penderitaan demi penderitaan, menjadi pelajaran paling berharga bagi kami sekeluarga, agar senantiasa jauh dai kesombongan. Karena sudah merasakan bagaimana getirnya menjalan hidup sebagai orang miskin dan melarat.

Iluka, 11 April, 2015

Tjiptadinata Effendi

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun