Sumber bacaan dan foto: https://www.who.int/campaigns/world-mental-health-day/2025
Kesehatan mental dalam keadaan darurat kemanusiaan
Hari Kesehatan Mental Sedunia menjadi pengingat yang kuat bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental. Kampanye tahun ini berfokus pada kebutuhan mendesak untuk mendukung kesehatan mental dan kebutuhan psikososial masyarakat yang terdampak darurat kemanusiaan.
Krisis seperti bencana alam, konflik, dan kedaruratan kesehatan masyarakat menyebabkan tekanan emosional, dengan satu dari lima orang mengalami kondisi kesehatan mental. Mendukung kesejahteraan mental individu selama krisis semacam itu tidak hanya penting – tetapi juga menyelamatkan nyawa, memberi mereka kekuatan untuk bertahan, ruang untuk menyembuhkan, memulihkan, dan membangun kembali, tidak hanya sebagai individu tetapi juga sebagai komunitas. Itulah mengapa sangat penting bagi semua orang, termasuk pejabat pemerintah, penyedia layanan kesehatan dan sosial, staf sekolah, dan kelompok masyarakat untuk bersatu. Dengan bekerja sama, kita dapat memastikan mereka yang paling rentan memiliki akses ke dukungan yang mereka butuhkan sekaligus melindungi kesejahteraan semua orang. Â
Sumber bacaan:
https://www.who.int/campaigns/world-mental-health-day/2025
Setiap tanggal 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day) yang dicanangkan oleh WHO (World Health Organisation). Hari ini bukan sekadar seremoni, melainkan sebuah pengingat bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Bagi saya, hari ini terasa begitu bermakna. Karena saya pernah jatuh dalam jurang sakit batin yang tidak kasat mata---namun sangat menyiksa, baik bagi diri saya sendiri maupun keluarga.
Kisah ini bermula ketika hasil kerja keras saya selama belasan tahun hilang begitu saja akibat dikhianati. Yang paling menyakitkan, pengkhianatan itu datang justru dari orang-orang terdekat: seseorang yang saya anggap seperti anak sendiri, serta seorang sahabat yang juga mitra bisnis di Singapura.
Sejak saat itu, perangai saya berubah drastis. Dari pribadi yang biasanya kalem dan penuh kasih, saya tiba-tiba menjadi mudah marah. Saya bisa sarapan hingga tiga kali sehari. Ketika istri menegur, saya langsung naik darah. Berat badan saya melonjak dari 60 kg menjadi 90 kg.
Secara fisik, orang tidak melihat saya sakit. Namun batin saya hancur berkeping-keping.
Malam-malam yang Mencekam
Setiap malam, begitu berbaring, saya sering berteriak keras-keras seperti orang gila, padahal saya belum tertidur. Rasanya seperti jatuh ke dalam lubang yang sangat dalam dan gelap. Hal itu terjadi hampir setiap malam.
Istri saya ikut tersiksa melihat keadaan itu. Saat ia mengajak saya berobat ke psikiater, saya marah dan berteriak, "Saya tidak gila!". Namun, ketika tahu bahwa psikiater itu ternyata teman sekolah saya, akhirnya saya luluh.
Sejak itu, saya mulai mengenal Mogadon dan Valium. Obat.obatan itu menjadi "makanan pokok" agar saya bisa tidur. Lama kelamaan saya menjadi pelupa, semangat hidup pun merosot.
Titik Balik Kesadaran
Hingga suatu malam, saya melihat istri tertidur dengan wajah pucat dan tubuh yang semakin kurus. Hati saya seperti ditampar keras. Saya menangis sejadi-jadinya seperti anak kecil.
Malam itu saya sadar betapa egoisnya saya tenggelam dalam penderitaan sendiri tanpa peduli pada istri yang setia mendampingi. Sejak malam itu, saya kembali berdoa. Sesuatu yang sudah lama saya abaikan.
Proses Pemulihan
Berkat doa, kesetiaan, dan kasih sayang istri serta anak anak, saya perlahan pulih. Untuk mempercepat pemulihan, saya belajar meditasi hingga akhirnya menjadi guru meditasi.
Untuk mengatasi daya ingat yang sering hilang, saya mulai menulis. Sejak saat itu, menulis bukan lagi sekadar hobi, melainkan kebutuhan jiwa. Dengan menulis, saya bisa menyalurkan pikiran, meringankan beban batin, sekaligus berbagi pengalaman agar orang lain tidak merasa sendirian menghadapi sakit mental.
Pesan untuk Kita Semua
Hari Kesehatan Mental Sedunia adalah momentum untuk menyadarkan kita semua bahwa:
Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Jangan ragu mencari bantuan ketika merasa tak sanggup menanggung beban sendiri.
Dukungan keluarga, kasih sayang, dan doa adalah kekuatan terbesar untuk pemulihan.
Menulis, berdoa, dan meditasi bisa menjadi terapi sederhana yang luar biasa. Saya bersyukur bisa melewati masa masa kelam itu. Jika saya bisa bangkit, maka siapa pun juga bisa.
Ingatlah: kita tidak sendirian.
"Luka batin memang tak terlihat, tetapi bisa disembuhkan dengan kasih, doa, dan harapan.Â
Kesehatan mental adalah perjalanan, bukan tujuan akhir.
Renungan kecil di malam musim semiÂ
Tjiptadinta EffendiÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI