Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Dari Guru Alih Profesi Jadi Pengusaha, Mengapa Tidak?

26 September 2025   20:52 Diperbarui: 27 September 2025   07:54 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Dok. pribadi 

Ketika Guru Harus Jualan Kelapa Parut demi Bertahan Hidup

Sebuah Perjalanan dari Kapur Papan Tulis ke Dunia Usaha

Profesi guru memang mulia. Menjadi guru berarti menjadi bagian dari perjalanan hidup murid.murid kita, ikut membentuk masa depan mereka, dan menyalakan lentera pengetahuan di tengah kegelapan. Tetapi kemuliaan itu sering kali berhadapan dengan kenyataan pahit

Yakni gaji yang diterima tidak selalu sebanding dengan pengorbanan dan tanggung jawabnya.

Saya sendiri pernah merasakannya. Saat itu, gaji saya sebagai guru tetap hanya Rp16.000 per bulan, ditambah tunjangan in natura berupa 9 kilogram beras. Jika dihitung-hitung, jumlah itu hanya cukup untuk menyambung hidup sekitar dua minggu. Lalu bagaimana dengan sisa hari dalam sebulan?

Di titik itulah saya dan istri berjuang sekuat tenaga. Kami tidak bisa hanya bersandar pada gaji bulanan. Maka, dengan penuh kerendahan hati, kami pun berjualan kelapa parut. Setiap dini hari, sebelum ayam jantan berkokok, kami sudah bangun. Saya mengupas, memarut, dan mengantarkan kelapa ke pasar, sementara istri tetap setia membantu mengatur kebutuhan rumah tangga sekaligus mengajar di sekolah Kalam Kudus dan SMP Murni sebagai guru eksakta.

Jujur saja, itu masa-masa yang sangat berat. Kami sering kali kelelahan, bahkan terkadang merasa putus asa. Namun, di balik semua itu, ada tekad yang tidak bisa digoyahkan: anak-anak kami harus punya masa depan lebih baik daripada kami.

Saya sempat merenung panjang: Apakah saya akan bertahan menjadi guru seumur hidup dengan penghasilan yang pas-pasan, sementara kebutuhan keluarga terus meningkat? Pertanyaan itu menghantui hari-hari saya.

Akhirnya, dengan segala pertimbangan, saya memberanikan diri untuk alih profesi menjadi seorang pengusaha. 

Keputusan ini bukan perkara mudah. Menjadi pengusaha berarti masuk ke dunia penuh tantangan, risiko, bahkan kegagalan. Namun, saya percaya satu hal: jika hanya berani berjalan di jalan yang aman, kita tidak akan pernah sampai pada tujuan besar dalam hidup.

Perjalanan itu tidak langsung mulus. Ada saat jatuh, ada saat bangkit lagi. Ada hari penuh air mata, ada pula hari penuh syukur. Tetapi satu hal yang selalu menjadi pegangan saya adalah keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang mau berusaha dengan jujur dan tekun.

Kini, ketika saya menoleh ke belakang, hati saya penuh rasa syukur. Dari seorang guru bergaji kecil dan penjual kelapa parut di pasar, saya bisa menapaki jalan sebagai pengusaha. Semua itu bukan semata-mata karena kepintaran atau keberanian saya, tetapi karena dukungan istri tercinta, doa yang tidak pernah putus, serta semangat untuk tidak menyerah pada keadaan.

Kisah ini saya bagikan bukan untuk mengeluh, apalagi untuk meninggikan diri. Saya ingin berbagi pelajaran hidup: jangan takut mengambil keputusan besar demi masa depan keluarga. Kadang, jalan yang terlihat mulia sekalipun bisa menjerat kita dalam kesulitan, jika kita tidak bijak mengelolanya. Dan terkadang, keputusan yang penuh risiko justru membuka pintu rezeki yang lebih luas.

Bagi saya, keberhasilan sejati bukanlah sekadar memiliki usaha yang mapan, melainkan bisa melihat anak anak tumbuh, bersekolah, dan meraih cita cita mereka tanpa harus merasakan pahit getir seperti yang pernah kami alami.

Hidup adalah rangkaian pilihan. Ada pilihan yang aman, ada pula yang berisiko. Namun, apa pun jalannya, jangan pernah lupa bahwa tekad, kerja keras, dan doa adalah fondasi yang akan membawa kita sampai pada tujuan.

Saya percaya, setiap orang punya kisah perjuangan masing-masing. Bila hari ini Anda sedang berada dalam titik sulit, jangan menyerah. Mungkin justru dari keterdesakan itulah lahir keberanian besar untuk mengubah nasib.

Karena pada akhirnya, bukan keadaan yang menentukan hidup kita, melainkan keputusan yang kita ambil dan ketekunan kita menjalaninya.

Catatan tambahan:

Kami menikah di usia 22 tahun. Tujuh tahun hidup menderita. Di usia jelang 30 tahun, dari Guru dan Penjual Kelapa parut saya alih profesi jadi pengusaha. 

Di usia 37  tahun, kami sudah memiliki rumah permanen di Komplek Wisma Indah I Ulak Karang  Puji syukur kepada Tuhan karena setelah kerja keras dan cermat selama bertahun-tahun, nasib kami berubah total 

Tulisan ini tentunya sama sekali tidak bermaksud memotivasi para guru agar ramai-ramai alih Profesi. Karena di zaman now gaji guru sudah semakin membaik, menuju sejahtera. 

Renungan kecil di musim semi.. 

Tjiptadinta Effendi 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun