Bukankah Kita Yang Memilih Mau jadi Guru?
Berapa gaji guru pada tahun 1968?Â
Hanya cukup untuk hidup dua minggu, yakni Rp16.000 ditambah tunjangan in natura berupa 9 kilogram beras. Padahal saya mengajar di SD St. Franciscus, sekolah Katolik yang pada waktu itu tergolong memberi gaji cukup tinggi di bawah naungan Yayasan Prayoga, Padang.
Setiap hari saya pergi mengajar dengan sepeda onthel. Membeli sepeda motor masih sesuatu yang mustahil, bahkan bagi kepala sekolah. Setelah beberapa tahun, saya mendapat tugas baru mengajar di SMP PIUS. Secara jenjang, saya memang "naik kelas" dalam mengajar, tetapi gaji tetap tidak ikut naik.
Kami masih bisa bertahan hidup karena istri saya juga mengajar di SMP Kalam Kudus. Namun gaji kecil plus tunjangan beras bukanlah alasan untuk mengajar setengah hati. Kami tetap mendidik dengan sepenuh hati, membimbing dan menyayangi anak anak didik kami.
Dan benar, kasih sayang tidak pernah hilang jejaknya. Ia menancap dalam memori bawah sadar murid.murid. Buktinya, setelah lebih dari setengah abad berlalu, ketika murid.murid saya kini rata-rata sudah berusia 70 Â tahun ke atas, mereka masih mengingat kami dengan penuh hormat dan kasih.
Saya terharu ketika dalam sebuah pertemuan di Jakarta, Asrul, salah seorang murid saya, tidak mengizinkan saya membayar tagihan makan yang jumlahnya jutaan rupiah, karena sudah ia bayar lunas.Â
Bahkan, ada pula murid lain yang datang jauh jauh dari Batam, memberikan angpau dengan nominal yang tidak pernah saya bayangkan. Itu bukan soal uang, melainkan bukti nyata betapa kasih sayang yang dulu kami tanamkan kini berbuah begitu indah.
Tanamkan Rasa Kasih Sayang
Karena itu, ketika saya membaca berita ada guru yang memukul murid, atau sebaliknya murid yang berani melawan bahkan memukul guru, saya sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.Â
Selama bertahun-tahun mengajar, saya dan istri tidak pernah sekalipun memukul murid.
Jika ada anak yang melakukan kesalahan, saya memanggilnya saat jam istirahat. Kami duduk berdua di kelas. Saya menasihati dengan lembut, menepuk pundaknya, lalu merangkulnya. Hasilnya? Mereka tidak melawan, justru menangis karena sadar dan menyesal. Pendidikan sejati lahir dari kasih, bukan dari kekerasan.