Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup Bukan Untuk Hari Ini Saja

19 Agustus 2025   21:14 Diperbarui: 19 Agustus 2025   21:14 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: depositphoto 

Jangan Sampai Terbuai Kesuksesan Semu

Hidup ini bukan hanya tentang bagaimana kita bertahan hari ini, tetapi juga tentang bagaimana kita menyiapkan masa depan. Titik balik adalah peluang emas untuk mengubah arah hidup, namun kitalah yang menentukan apakah akan masuk melalui pintu itu atau hanya berdiri di depannya tanpa keberanian.

Saya percaya, setiap orang memiliki titik balik masing-masing. Entah kecil atau besar, ia adalah hadiah yang bisa mengantar kita menuju kehidupan yang lebih bermakna. Jangan abaikan, jangan takut, dan jangan menunda.

Karena hidup yang sejati bukanlah hidup tanpa masalah, melainkan hidup yang mampu mengubah masalah menjadi kesempatan, penderitaan menjadi pelajaran, dan titik balik menjadi awal perjalanan baru.

Apa Itu Titik Balik?

Dalam perjalanan hidup, setiap orang pasti mengalami pasang surut. Ada masa kita berada di puncak keberhasilan, ada pula masa kita terpuruk dalam kegagalan. Namun, di antara perjalanan itu, ada momen tertentu yang bisa menjadi titik balik sebuah peristiwa atau kesadaran yang mengubah arah hidup kita.

Titik balik bukanlah sesuatu yang selalu datang dalam bentuk manis. Justru seringkali ia hadir dalam wujud yang pahit: kegagalan usaha, kehilangan orang tercinta, sakit yang melemahkan, atau kesulitan hidup yang membuat kita hampir menyerah. Namun, bila kita mampu melihat lebih dalam, justru di sanalah jalan menuju perubahan dimulai

Titik Balik dalam Hidup Kami 

Izinkan saya berbagi kisah pribadi. Saya pernah hidup dalam kesulitan yang begitu berat. Selama tujuh tahun tinggal di Pasar Tanah Kongsi, Padang, saya dan istri berjuang hanya untuk bisa bertahan hidup. Kami harus bangun pukul tiga pagi untuk menjual kelapa parut, namun hasilnya bahkan tak cukup untuk makan dengan layak.

Penderitaan itu mencapai puncaknya ketika putra pertama kami mengalami kejang-kejang. Kami sama sekali tidak memiliki uang untuk biaya berobat. Akhirnya, dengan hati hancur, kami terpaksa menjual cincin kawin satu.satunya benda berharga yang kami miliki demi menyelamatkan nyawa anak. Saat itu, rasanya dunia runtuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun