Begitu juga dalam membahasakan lawan bicara, di Sumatera Barat orang yang berpendidikan,tidak pernah menggunakan kata  "waang " atau " kamu /kalian" karena dianggap sangat tidak sopan. Kecuali antara seorang guru dan murid muridnya Atau atasan kepada bawahannya. Itupun kalau sudah sangat marah. Lazimnya, untuk membahasakan lawan bicara menggunakan kata "angku" dan kalau jauh lebih muda, dengan panggilan "dunsanak atau kamanakan" dan dapat juga dengan menyebutkan nama panggilan lawan bicara. Misalnya, kalau namanya Vera, maka disebut namanya: "Vera mau ke mana?" walaupun usianya mungkin sebaya cucu kami. Tapi kalau kepada karyawan kami, saya boleh mengatakan "Kamu mau ke mana?"  atau kalau lebih dari satu orang "Kalian mau ke mana?" Dalam kesetaraan, apalagi berbicara dengan orang yang lebih tua atau seusia orang tua kita, kata "kamu dan kalian" sungguh sangat tak elok digunakan. Tapi seperti kata peribahasa " Lain padang, lain belalangnya "boleh jadi apa yang dianggap tidak sopan di Sumatera Barat, boleh jadi sangat hormat di daerah lain, sungguh saya tidak tahu."
Saya tidak berani masuk ke dalam bahasa daerah lainnya karena saya tidak paham. Tapi karena saya dilahirkan dan dibesarkan di Padang, Sumatera Barat, maka saya berani menulis tentang tata krama dalam membahasakan diri sendiri dan orang lain yang berlaku di Sumatera Barat. Itupun seandainya ada yang kurang tepat,tentu saja merupakan kesalahan saya dalam memaknainya.
Bahasa Tubuh atau Body LanguageÂ
Selain dari bahasa verbal ada bahasa tubuh atau body language yang tak kalah pentingnya dengan bahasa verbal. Sebagai salah satu contoh, silakan diperhatikan gambar di atas. Yang berjalan di sisi saya adalah MenPan Brigjen Pol. Taufik Effendi pada waktu itu. Walaupun dalam posisi sebagai seorang menteri pak Taufik menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang patut dihormati, dengan cara menghormati orang yang menyambut kunjungannya, yakni dengan kedua belah tangan terkatup, sebagai tanda hormat.
Kita boleh saja berkilah, "Saya bukan tipe orang yang gila hormat" tetapi jangan lupa justru orang menilai diri kita dari apa yang kita ucapkan dan apa yang kita tulis, serta bagaimana bahasa tubuh yang dikedepankan.  jangan sampai terjadi pemujaan terhadap intelektual.dimana posisi seseorang menempati urutan utama dalam kehidupan dan mengalahkan tata krama dan kesantunan. Disinilah arti dan makna sesungguhnya dari peribahasa :"Bahasa menunjukan bangsa".Â
Tulisan ini bukan pelajaran budi pekerti, melainkan hanya sekedar berbagi informasi, dengan harapan semoga generasi muda mileneal jangan sampai terjerumus menjadi pemuja intelektual, yakni karena merasa diri sudah pintar atau berada dalam posisi diatas ,sehingga  melupakan tatakrama yang merupakan kearifan diri sebagai  bagian dari bangsa Indonesia.Â
Tjiptadinata Effendi