Dimulai Dari Diri Kita Sendiri
Kalau di rumah kita ada barang bekas yang sudah rusak dan tidak lagi berfungsi, maka daripada hanya merusak pemandangan dan memenuhi ruangan, maka barang-barang bekas tersebut bisa dijual ke Pasar Loak. Atau kalau hidup kita cukup mapan, ya bisa diberikan kepada orang yang membutuhkan. Selesai. Rumah kita bersih dari segala barang rombengan dan tidak ada lagi yang merusak pandangan mata kita.
Tapi kalau orang tua kita, walaupun sudah tidak dapat lagi melakukan apa-apa selain dari makan dan tidur, masa iya tega kita perlakukan sebagai barang bekas? Betapa pun bebal seorang anak, tidak mungkin akan tega mengatakan kepada ayah atau ibunya atau malah keduanya, "Maaf ya bapak ibu, kondisi keuangan saya tidak mengijinkan dan saya harus menafkahi anak isteri. Jadi mohon maaf saya tidak mampu mengurus ayah dan ibu."
Maka, sejak saat itu, suka atau tidak suka, ikhlas ataupun tidak, kita tidak dapat lagi mengelak dan langsung termasuk dalam kriteria "Generasi Sandwich." Karena, selain daripada mengurus orang tua yang tidak mampu lagi mengurus diri sendiri, ada tugas lain yang tak kalah pentingnya, yakni menafkahi anak isteri. Tapi di zaman dulu,hal ini sama sekali tidak menimbulkan masalah,karena sudah dianggap merupakan bagian dari ritual kehidupan. Â Cara berpikir :"Saya sudah tua,wajarlah bila sakit sakitan. Kan ada anak cucu yang akan merawat diri saya".sudah harus diubah dengan :"kalau saya bisa hidup mandiri hingga menua,mengapa harus membebani anak cucu?" Untuk ini,hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengubah sikap mental ,yakni menjadi tua itu adalah kodrat manusia,tapi hidup sehat hingga menua adalah sebuah pilihan "
Dari total 11 orang bersaudara, yang bertahan hidup hingga berkeluarga adalah 9 orang termasuk diri saya. Dan tidak seorang pun dari antara kami, jangankan menjadi "Generasi Sandwich" malahan kesempatan untuk merawat orang tua kami tak seorang pun mendapatkannya.
Ibu kami sore harinya seperti biasa mandi sendiri dan kemudian makan malam dan tetiba sebelum tidur mengeluh tubuhnya lemas. Kami tinggal di Wisma Indah dan orang tua di Pulau Karam.Â
Saya ditelpon kakak saya dan menceritakan bahwa ibu sakit. Dengan hanya mengenakan pakaian piyama saya langsung mengeluarkan mobil dari garasi dan mengajak isteri saya.Â
Setengah jam kemudian kami tiba di rumah orang tua kami. Saya bergegas masuk ke dalam kamar dan berpapasan dengan dokter yang dipanggil untuk mengobati ibu kami. Tapi dokter hanya mengatakan, "Maaf, sudah diijeksi, tapi tetap tidak sadarkan diri." Dan selang beberapa menit kemudian, ibunda tercinta kami menghembuskan nafas terakhir.Â
Begitu juga dengan ayah kami, yang sejak ibu meninggal, ayah tinggal bersama dengan kakak di Jakarta. Maksudnya adalah agar ayah punya kesibukan di sana dan dapat mengurangi beban bathin sejak kepergian ibu.Â
Waktu ayah kami sakit, saya ditelpon kakak saya yang di jakarta. Dan pada pesawat pertama kami terbang dari Padang ke Jakarta. Langsung ke rumah Sakit untuk menemui ayah kami. Tampak semangat ayah menurun.
Kami masih sempat berbicara beberapa saat dan kemudian ayah tidak sadarkan diri. Dokter segera dibell dan datang, Mencoba memberikan injeksi, untuk merangsang, tapi sama sekali tidak ada reaksi lagi. Selang beberapa menit, dokter mengatakan ayah kami sudah pergi.
Kami berdua selalu saling mengingatkan untuk menjaga kesehatan diri lahir dan batin dengan:
- menjaga pola makan sehat
- berolahraga
- menghindari stress
- tidak merokok
- tidak minum alkohol
- tidak minum obat-obatanÂ
- tidak bergadang
- jauh dari hal hal yang dapat merusak kesehatan
Dan secara berkala memeriksakan diri ke Shenton Mendical Centre. Memang tidak mudah untuk bolak balik ke dokter, belum lagi harus blood test berkali kali dan berarti puasa sejak jam 10.00 malam. Ditusuk-tusuk untuk diambil darah guna dilakukan pengecekan tentu saja tidak enak rasanya.
Dalam sebulan saya sampai 6 kali bolak balik melakukan blood test, X ray, MRI, Ct scan, dan entah apa lagi namanya. Rasanya membosankan banget menunggu giliran, tapi kami sadar bahwa semuanya ini bukan hanya demi untuk kami pribadi, tapi demi untuk tidak menjadi beban anak cucu kami.Â
Kami ingin menjadi Opa Oma mandiri, yang mampu ke mana-mana dengan mengemudikan kendaraan sendiri. Dan bisa makan apa saja tanpa ada pantangan. Tapi tentu saja kami harus tahu diri.
Dengan cara ini, setidaknya dalam keluarga kami tidak terlahir lagi "generasi sandwich". Kami berdua senang karena bebas ke mana saja dan anak cucu kami juga senang, tidak perlu mengurusi kami berdua.Â
Dari A to Z kami lakukan berdua tanpa perlu merepotkan anak cucu kami. Apalagi sudah dikasih hadiah mobil baru Nissan X Trail, maka setiap hari kami berdua keluyuran ke mana-mana.
Nah, bagi generasi mileneal, mari kita putuskan lingkaran "Generasi Sandwich" dengan merawat diri agar sehat lahir batin hingga menua. Jangan mau kalah dengan Opa dan Oma. Bila Tuhan menginjinkan, sesaat lagi akan menginjak usia ke-78 tahun.
Tjiptadinata Effendi