Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Duduk Paling Belakang Bukan karena Rendah Hati

9 Desember 2019   04:44 Diperbarui: 9 Desember 2019   05:12 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:https://pixabay.com/photos/search/praying/

Tapi Karena Merasa Rendah Diri

Dalam kisah kisah inspiratif disebutkan bahwa orang rendah hati tidak menempatkan dirinya di kursi paling depan karena boleh jadi ada orang lain yang jauh lebih berhak duduk disana,ketimbang dirinya, tapi  setiap menghadiri Misa dihari Minggu, saya selalu duduk dibangku paling belakang Bukan lantaran rendah hati,tapi memang pakaian yang saya pakai, tidak layak untuk duduk di kursi depan. 

Belum lagi sandal jepit yang sudah lama putus,tapi tetap dapat dipakai hanya dengan menyambungnya pakai peniti kawat. Pakaian saya yang jauh dari dapat disebut bersih, menyebabkan saya menjadi rendah diri berada ditempat umum, Apalagi di gereja di mana hampir semua orang berpakaian parlente.

Biasanya, saya selalu ke gereja bersama istri tercinta dan putra kami yang  pada waktu itu baru satu dan berusia 4 tahun Kali itu  saya hanya sendirian. 

Istri dan anak kami tergolek sakit di gubuk kami Sebelum ke gereja, saya sudah mencari daun Mengkudu, menghangatkannya di tungku dan membalutkan ke perut putra kami yang kurus kerempeng karena kurang makan dan sering kejang. Sementara istri saya yang sudah beberapa hari batuk batuk sepanjang hari dan malam hanya dapat saya berikan air jeruk nipis.

Walaupun secara fisik tubuh saya hadir di gereja, tapi sesungguhnya pikiran saya berada bersama anak istri yang lagi terbaring sakit tanpa obat dan tanpa makanan Saya mencoba berdoa, tapi sungguh tidak mudah berdoa dalam pikiran yang kusut dan hati yang risau.

Iri Hati Melihat Orang Menyumbang Ratusan Rupiah

Saat kotak kolekte di edar, saya hanya menggelengkan kepala karena jangankan menyumbang untuk pembangunan gereja untuk makan saja sudah tidak ada lagi yang bisa dijual. Bahkan seandainya kepala saya laku dijual,saya ikhlas akan menjualnya demi agar anak istri saya bisa sembuh.

Ketika kotak sumbangan lewat di depan mata saya tanpa sadar saya melirik, ada yang memasukan beberapa  lembaran uang kertas seratus rupiah yang pada waktu itu sungguh merupakan nilai nominal yang fantastis bagi saya pribadi.

Membayangkan, saya kerja sejak dari subuh hingga malam hari sebagai penjual kelapa parut,hanya menghasilkan 20=30 rupiah dalam sehari. Mungkin hal ini dianggap kekanak kanakan. Tapi bagi siapa yang pernah hidup menderita bertahun tahun, pasti dapat merasakan bahwa disaat menderita, suasana hati menjadi sangat sensitif dan cepat tersinggung.

Dan yang memperparah perasaan saya pada waktu itu adalah yang melemparkan uang ratusan rupiah ke dalam kotak sumbangan adalah Om saya yang pernah saya minta dipinjami uang untuk biaya berobat anak istri mengatakan, "Maaf saya tidak bisa meminjamkan karena saya perlu menyumbang untuk membangun rumah Tuhan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun