Antara Hati Nurani dan EgoismeÂ
Sepintas,membaca judul, "Tidak akur pada diri sendiri" rasanya seperti "something wrong", ada sesuatu yang salah. Bisa jadi salah ketik atau boleh jadi hanya untuk memancing agar  orang mau membaca.Â
Tetapi bila kita menyediakan waktu beberapa menit untuk melakukan kilas balik kedalam diri masing masing, maka akan dapat dirasakan, bahwa memang benar  terkadang kita tidak akur pada diri sendiri.Â
Misalnya, ketika menengok ada orang terjatuh di jalan dan tidak ada siapa siapa yang menolong, hati kita sangat ingin membantu. Tapi pikiran kita boleh jadi tidak setuju dan mengedepan alasan "Urusan sendiri belum selesai, mengapa harus repot menghabiskan waktu menolong orang tidak dikenal?" Nah, pada saat ini dalam diri kita terjadilah pertarungan antara hati nurani dan egoisme yang berusaha menguasai diri kita.Â
Bersyukurlah bila dalam "pertarungan" ini, hati nurani kita keluar sebagai Pemenang, sehingga orang yang tergolek di jalan dapat ditolong.Â
Di sinilah harkat diri kita diuji karena tak seorangpun menjadi saksi, apakah kita menolong orang yang terjatuh tersebut atau tidak.Â
Kalau kita menolong, tidak akan ada orang yang mengatakan bahwa "kita orang baik". Sebaliknya, bila kita pura pura tidak melihat dan jalan terus, juga tidak akan ada orang yang mengatakan kita tidak berprikemanusiaan. Bersyukur kalau kita mampu mengalahkan diri sendiri.
Berdamai Dengan  Diri Sendiri Tidak Mudah,Apalagi Berdamai Dengan Orang Lain
Pada alinea diatas, kita setidaknya kita sudah mendapatkan gambaran bahwa untuk bisa akur dengan diri sendiri saja, tidak mudah. Ketika hati nurani kita ingin berbuat kebaikan, akan ada penolakan dari egoisme yang bersarang didalam diri. Kita harus mau dan mampu untuk menjadi raja atas diri kita sendiri.
Be a king of your self. Karena bila egoisme menjadi raja kita, maka jadilah kita seperti para koruptor yang hanya mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan orang lain. Melakukan penipuan sana sini dan berbagai tindak kejahatan, karena orang sudah kehilangan jati diri dan dikuasai oleh egonya.
Hidup Adalah Proses Pembelajaran Diri Tanpa Akhir
"Learn from the cradle to the grave " yang dapat diterjemahkan secara bebas "Belajar sejak dalam buaian,hingga akhir hayat" untuk dapat memetik pelajaran hidup dari Universitas Kehidupan ,syaratnya hanya satu yakni "rendah hati" Pintu untuk belajar akan tertutup rapat bila orang merasa dirinya :
- paling pintar
- paling suci
- paling tahu
- paling beriman
Orang yang merasa dirinya paling tahu segala galanya,sesungguhnya adalah orang yang sudah kehilangan harkat dirinya dan dikuasai oleh egoisme.Â
Jangan lupa "Tidak ada kata terlambat untuk belajar ", selama kita masih bernafas.Bila kita punya niat sungguh sungguh untuk belajar, maka hanya kematian yang bisa menghentikan langkah kita. Akan tetapi bila kita tidak mau belajar maka tak seorangpun akan dapat membantu kita. Untuk mengubah hidup kita.
Sebuah renungan kecil di musim semi
Tjiptadinata Effendi