Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa dalam Bahaya Maut Kita Merasa Dekat kepada Tuhan?

21 April 2019   05:36 Diperbarui: 21 April 2019   07:52 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi  setelah menunggu lebih dari satu jam,teman saya tidak tampak batang hidungnya. Sebagai orang yang  sudah terbiasa disiplin diri,maka timbul perasaan berang dalam hati saya dan memutuskan untuk berangkat seorang diri,dengan menggunakan "Sampan" ,yakni sebuah perahu kecil,yang tanpa pengamanan.

Saya ingin membuktikan,bahwa tanpa teman,bisa melakukannya sendirian

Karena ia tidak datang pada waktu yang dijanjikan,malahan setelah saya tunggu hampir satu jam,tidak ada kabar beritanya.

Saya menjadi sangat marah. maka saya memutuskan untuk berangkat sendiri dengan sebuah perahu kecil,yang di kampung saya di sebut "sampan" Sampan ini hanya berkapasitas maksimal dua orang,

Ada 2 buah pendayung dan sama sekali tidak ada pelampung keselamatan.. Biasanya kami selalu mancing berdua ,sehingga bisa saling mengingatkan,bila ada hal hal yang dapat membahayakan. Tetapi kali ini saya ingin membuktikan pada teman saya, bahwa tanpa dia, saya sendiripun bisa.

Tiba Tiba Ombak Besar

Saya mendayung sampan dengan penuh  rasa percaya diri.Toh,bukan kali ini saya menantang bahaya. Tapi selang beberapa menit,cuaca yang tadinya cerah,tiba tiba saja berubah menjadi gelap ,

Angin bertiup dengan kencang dan gelombang mulai menghempaskan sampan yang saya kemudikan,bagaikan sepotong sabut yang terombang ambing,Saya tidak bisa menepi lagi,karena di lepas pantai,berbaris batu karang terjal ,yang bila saya merapat,pasti akan membelah sampan saya berkeping keping. Saya baru sadar bahwa diri saya dalam bahaya maut. Mau berteriak minta tolong? Apalah artinya suara saya dibandingkan gemuruhnya ombak ? Mencoba memutar arah sampan,untuk kembali ke arah Sungai Batang Arau .

Saya hanya mengandalkan feeling ,karena kabut sangat tebal. Ombak besar,menyebabkan air laut mulai menggenangi sampan dan membasahi kaki Saya coba meraup dengan tempurung kelapa yang tergeletak didalam sampan untuk membuang air yang tergenang,. Tetapi baru saja saya melepaskan genggaman saya dari pendayung, sampan mulai berputar putar.Tiba tiba saja perasaan takut membelenggu diri saya,walaupun sesungguhnya sudah berkali kali luput dari maut.Saya merasa seorang diri di laut lepas.Hati saya semakin kecut dan tubuh saya gemetaran. Disaat memahami,bahwa mustahil mengharapkan bantuan orang lain, tiba tiba saya ingat untuk berdoa."Ya Tuhan,selamatkanlah saya" Saya bukan berdoa dalam hati,tapi berteriak sekuat kuatnya.

Saya terus mendayung dengan seluruh sisa tenaga yang ada dalam diri. Saya tidak tahu,entah berapa lama hal tersebut sesungguhnya berlangsung, Otot tangan saya seakan mau pecah,tapi saya sadar,begitu saya berhenti mendayung,maka tamatlah riwayat saya. Tapi tiba tiba saya merasa diri mulai aneh.Mata mulai berkunang kunang dan pikiran saya sudah tidak lagi bekerja.

Malaikat Penolong Tiba Pada Waktunya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun