Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa dalam Bahaya Maut Kita Merasa Dekat kepada Tuhan?

21 April 2019   05:36 Diperbarui: 21 April 2019   07:52 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi:katoliksitas.com

Renungan Diri

Mohon maaf ,saya meminjam istilah :"kita" ,padahal yang  saya tulis disini adalah pengalaman pribadi .Karena sesungguhnya saya tidak tahu,apakah orang lain juga memiliki perasaan yang sama dengan diri saya,ketika menghadapi bahaya maut .

Akan tetapi ,kalau saya tuliskan :"pengalaman saya",mungkin orang tidak akan tertarik untuk membacanya,karena setiap orang memiliki pengalaman pribadi,bahkan mungkin jauh lebih spektakuler dibandingkan pengalaman hidup saya.

Agar Dikagumi ,Saya Berani Menantang Maut

Ini cerita diwaktu usia masih muda dan merasa diri paling hebat. Pada masa itu, saya masih duduk di SMA don Bosco di kota Padang. 

Setiap tantangan tidak pernah saya tolak, Mulai dari memanjat pohon kelapa yang paling tinggi ,mendaki puncak gunung . Semuanya saya lakukan hanya untuk membuktikan bahwa saya bisa melakukan,yang orang lain tidak berani melakukannya.

Tanpa saya sadari, saya sudah memupuk rasa kesombongan diri. Apalagi ketika saya digadang gadang sebagai :"Hercules " di sekolah,karena tampil di pentas dalam berbagai acara sebagai pemain Standen.Saya berdiri paling bawah,karena semua teman teman tahu,saya satu satunya siswa yang ikut pelatihan angkat berat di Apollon Barbell Club ,sejak masih SMP. 

Dengan berdiri memasang kuda kuda, seorang siswa berpijak di paha kanan dan satu lagi di paha kiri. Kemudian di atas bahu saya berdiri lagi seorang siswa,sambil membentangkan spanduk,yang menampilkan logo sekolah.Saya harus berdiri kokoh,karena bila sedikit saja goyah,maka teman saya yang berdiri dipundak saya akan terjatuh.

Mendapatkan sambutan yang luar biasa dari para penonton,membuat saya semakin lupa diri. Pada waktu itu, tim "Standen" dari SMA don Bosco,diundang untuk mempertunjukan kebolehannya di kota Bukittinggi. dan tentu saja saya tetap menjadi bintangnya.

Bahaya Maut Merobohkan Keangkuhan Diri 

Salah satu hobi saya,selain dari olah raga adalah memancing, Suatu waktu ,bertepatan dengan liburan Paskah, maka saya janji untuk memancing ikan dilaut bersama teman saya.

Tetapi  setelah menunggu lebih dari satu jam,teman saya tidak tampak batang hidungnya. Sebagai orang yang  sudah terbiasa disiplin diri,maka timbul perasaan berang dalam hati saya dan memutuskan untuk berangkat seorang diri,dengan menggunakan "Sampan" ,yakni sebuah perahu kecil,yang tanpa pengamanan.

Saya ingin membuktikan,bahwa tanpa teman,bisa melakukannya sendirian

Karena ia tidak datang pada waktu yang dijanjikan,malahan setelah saya tunggu hampir satu jam,tidak ada kabar beritanya.

Saya menjadi sangat marah. maka saya memutuskan untuk berangkat sendiri dengan sebuah perahu kecil,yang di kampung saya di sebut "sampan" Sampan ini hanya berkapasitas maksimal dua orang,

Ada 2 buah pendayung dan sama sekali tidak ada pelampung keselamatan.. Biasanya kami selalu mancing berdua ,sehingga bisa saling mengingatkan,bila ada hal hal yang dapat membahayakan. Tetapi kali ini saya ingin membuktikan pada teman saya, bahwa tanpa dia, saya sendiripun bisa.

Tiba Tiba Ombak Besar

Saya mendayung sampan dengan penuh  rasa percaya diri.Toh,bukan kali ini saya menantang bahaya. Tapi selang beberapa menit,cuaca yang tadinya cerah,tiba tiba saja berubah menjadi gelap ,

Angin bertiup dengan kencang dan gelombang mulai menghempaskan sampan yang saya kemudikan,bagaikan sepotong sabut yang terombang ambing,Saya tidak bisa menepi lagi,karena di lepas pantai,berbaris batu karang terjal ,yang bila saya merapat,pasti akan membelah sampan saya berkeping keping. Saya baru sadar bahwa diri saya dalam bahaya maut. Mau berteriak minta tolong? Apalah artinya suara saya dibandingkan gemuruhnya ombak ? Mencoba memutar arah sampan,untuk kembali ke arah Sungai Batang Arau .

Saya hanya mengandalkan feeling ,karena kabut sangat tebal. Ombak besar,menyebabkan air laut mulai menggenangi sampan dan membasahi kaki Saya coba meraup dengan tempurung kelapa yang tergeletak didalam sampan untuk membuang air yang tergenang,. Tetapi baru saja saya melepaskan genggaman saya dari pendayung, sampan mulai berputar putar.Tiba tiba saja perasaan takut membelenggu diri saya,walaupun sesungguhnya sudah berkali kali luput dari maut.Saya merasa seorang diri di laut lepas.Hati saya semakin kecut dan tubuh saya gemetaran. Disaat memahami,bahwa mustahil mengharapkan bantuan orang lain, tiba tiba saya ingat untuk berdoa."Ya Tuhan,selamatkanlah saya" Saya bukan berdoa dalam hati,tapi berteriak sekuat kuatnya.

Saya terus mendayung dengan seluruh sisa tenaga yang ada dalam diri. Saya tidak tahu,entah berapa lama hal tersebut sesungguhnya berlangsung, Otot tangan saya seakan mau pecah,tapi saya sadar,begitu saya berhenti mendayung,maka tamatlah riwayat saya. Tapi tiba tiba saya merasa diri mulai aneh.Mata mulai berkunang kunang dan pikiran saya sudah tidak lagi bekerja.

Malaikat Penolong Tiba Pada Waktunya

Disaat kesadaran saya mulai menghilang,tiba tiba ada sebuah sorotan lampu ,difokuskan kewajah saja.  Saya sempat berpikir,mungkin saya sudah berada dialam lain,

Tapi.suara seseorang telah menyadarkan saya.Ternyata seorang Nelayan ,yang menengok saya ,menghentikan perahu motornya dan menyelamatkan saya. Tuhan sudah mengutus seorang malaikat penolong dalam ujud seorang Nelayan.untuk menyelamatkan saya dari kematian. Seandainya ,Nelayan tersebut menemukan saya terlambat beberapa detik saja,maka kemungkinan  ia hanya akan menemukan jazad saya.

Sejak saat itu,saya bertobat dan tidak berani lagi angkuh diri. Peristiwa ini terjadi ,pada hari Paskah tahun 1963 ,disaat saya masih duduk dikelas III SMA don Bosco di Padang. 

Paskah pada hari ini,tanggal 21 April,2019 berarti genap 56 tahun lalu, keangkuhan diri saya sudah terkubur di laut lepas. Seandainya ,Nelayan telambat menemukan saya hanya beberapa detik saja,maka hari ini akan merupakan hari ulang tahun kematian saya yang ke 56.

Karena itu,sebagai ungkapan rasa syukur yang tidak berkesudahan, saya selalu berusaha untuk menjadikan hidup saya bermanfaat bagi orang lain.Walaupun tidak mudah,namun saya akan terus berusaha melakukan introspeksi diri. Bagi saya pribadi,Paskah adalah matinya kesombongan dan keangkuhan diri !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun