Namun, ada hukum masyarakat yakni kita dianggap manusia tidak punya hati atau punya hati,tapi sudah membusuk. Walaupun kita bisa saja memberikan argumentasi ,bahwa kita bunyikan musik di rumah sendiri,mengapa orang lain harus usil? Tapi , suasana hati tidak dapat ditakar dengan aturan dan hukum.Â
Bila kita keliru menakar sesuatu dengan mengunakan takaran yang tidak pas,maka jadilah kita manusia yang tidak tahu bertenggang rasa. Secara hukum kita dinilai "clear" ,tapi hidup berdampingan, ditakar dengan "tenggang rasa" dan takaran dari "tenggang rasa" adalah hati kita masing masing.
Tenggang rasa adalah bahasa yang  universal. Tidak mengenal batas daerah dan batas negara. Karena sesungguhnya semua manusia punya hati. Sebagai contoh,tetangga kami di sini sedang membangun rumah. Kendaraan saya parkir di laman sendiri. Tapi tiba tiba, tukang yang sedang mengerjakan bangunan mengetuk pintu. Dan kemudian, bertanya, apakah boleh kendaraan saya dipindahkan, karena ia kuatir akan terkena debu semen. Walaupun saya parkir di laman sendiri, tapi dengan senang hati saya memindahkan kendaraan.Â
Dan tukang batu tersebut, berulang kali mengucapkan terima kasih. Tapi kalau saya berpikir, " Saya parkir dilaman rumah kami. Mengapa pula harus memindahkan kendaraan hanya kraena tetangga lagi membangun rumah?" Tetapi  saja bila hal ini saya lakukan dan bilang, "Sorry,saya  lagi sibuk dan tidak bisa diganggu."
Mereka tidak bisa menuntut saya, karena adalah hak saya parkir kendaraan di laman sendiri, maka antara saya dan tetangga, sudah tercipta sebuah jurang pemisah Masalahnya sepele, yakni saya tidak mampu bertenggang rasa.
Tenggang Rasa Sangat Sederhana
Tidak dibutuhkan ilmu pengetahuan yang tinggi dan tidak perlu memahami tentang hukum dan undang undang, karena hanya membutuhkan hati yang terbuka untuk sebuah persahabatan dengan siapapun.Â
Dengan bermodalkan tenggang rasa, maka kita akan diterima dimana saja, bukan hanya dengan tangan terbuka, tapi juga dengan hati terbuka Tenggang rasa,menghadirkan kesejukan hati dimanapun kita berada. Hal ini akan menjadi kenangan manis terhadap diri kita.
Saya sudah membuktikannya, walaupun kami sudah lama kehilangan kontak dan sama sekali tidak ada hubungan materi atau keuntungan apapun,tapi 2 bulan lalu ketika pulang kampung, kehadiran kami disambut dengan senang hati bahkan teman teman lama,mengundang kami makan bersama keluarga mereka.
Tulisan ini hanyalah secuil pengalaman pribadi dan sama sekali tidak menggurui siapapun. Karena tenggang rasa intinya adalah hati, maka mari kita tanya hati kita masing masing, sudahkah kita menerapkan tenggang rasa dalam hidup berinteraksi dengan lingkungan di mana kita berada? Don't ask me, ask your heart, because the answer is in your heart"
Renungan di pagi ceria
Tjiptadinata Effendi