Mohon tunggu...
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan praktisi pendidikan

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir S2 di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis dalam genre puisi, cerpen, artikel/esai/opini. Beberapa bukunya telah terbit. Buku puisinya "Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak" menjadi salah satu buku terbaik tk. nasional versi Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Tinggal di Ngawi dan bisa dihubungi melalui email: cahyont@yahoo.co.id, WA 085643653271. No.Rek BCA Cabang Ngawi 7790121109, a.n.Tjahjono Widarmanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Bangsa Melalui Jalan Kesenian

25 September 2020   07:36 Diperbarui: 25 September 2020   07:39 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Seandainya ada lebih banyak kaum  politik memahami puisi, saya yakin,

dunia yang kita diami ini akan menjadi  tempat yang lebih baik (John. F.Kenedy)

Sejak awal peradabannya, manusia menyakini bahwa kesenian memiliki peran penting dalam membangun sejarah peradabannya. Kesenian diyakini bisa mendampingi agama menyuarakan kebenaran Ilahiah yang hakiki. Peradaban yang tumbuh tanpa kesenian berarti sebuah peradaban yang tak bernurani, tak punya kebenaran. Melalui kesenianlah perasaan manusia dibangun dengan rajutan-rajutan benang kepekaan kemanusiaan. Kesenian mendorong manusia untuk berbuat lebih manusiawi, lebih memahami individu lain, lebih bijak memahami perbedaan, serta lebih peka melihat penderitaan orang lain.

Oleh karena itu tak berlebihan jika, di samping agama dan filsafat, kesenian punya peran penting untuk menumbuhkan dan membentuk jiwa kemanusiaan dalam diri manusia. Seperti dikatakan Aristoteles berabad-abad lampau, bahwa ada lima jalan yang bisa ditempuh manusia untuk mencari kebahagian hidupnya, yaitu religi (agama), filsafat, kesenian, ilmu pengetahuan, dan penderitaan.

Sebuah bangsa yang tak menempatkan kesenian pada ruang kehidupannya secara khusus, akan melahirkan manusia-manusia yang hidupnya cenderung berorientasi pada masalah kebendaan dan materiil. Menjadi pemburu yang segera lupa dengan kewajiban sosialnya sebagai suatu bangsa. Bahkan bisa tumbuh sebagai zombie yang tandus dengan rasa kemanusiaan, yang akan memangsa dan menindas manusia lain.

Perubahan kehidupan memang selalu berorientasi pada perbaikan tingkat hidup secara materiil, namun materi belaka bisa menggerus makna kehidupan. Perubahan akan menjadi sangat bermakna jikalau berbasis pada nilai dan rasa kemanusiaan: berpihak pada kemanusiaan! Perubahan bukanlah hanya bersandar pada elemen fisik belaka tetapi juga harus berangkat dengan elemen jiwa.

WR. Soepratman jauh-jauh hari mengingatkan bahwa kebangkitan peradaban sebuah bangsa haruslah dimulai dengan jiwanya. Baru setelah itu diikuti dengan bangunnya raga: bngunlah jiwanya, bangunlah badannya! Dalam khazanah kebudayaan klasik Jawa dikenal keharmonisan cipta, rasa, dan karsa. Keseimbangan antara daya kreatif, daya budi dan daya kehendak. Perpaduan wirasa, wirama, dan wiraga. Keserasian antara rasa, irama kehendak dan pencapaian fisik. Yang pada hakikatnya kesemuanya bermuara pada keseimbangan dan keselarasan elemen jiwa dan fisik.

Selama ini, kebanyakan dari kita, hanya memandang kesenian sebagai alat rekreasi atau penghibur belaka. Bahkan ada yang mengganggap kesenian hanya sebagai perbuatan iseng yang hanya pantas dilakukan oleh manusia-manusia iseng belaka. Cara pandang yang keliru ini mengakibatkan kesenian hanyalah sebgai komoditas belaka, yang hanya dianggap berguna bila dapat menghasilkan devisa dan pendapatan bagi pemerintah.

Akibatnya, makna kesenian berikut fungsinya menjadi terkikis. Kesenian sebagai pilar kebudayaan tak lagi dimaknai sebagai salah satu pintu untuk membangun jiwa, membentuk pekerti dan meneguhkan karakter. Kesenian dicabut dari aspek filosofinya sebagai alat aktualisasi dan artistik manusia Indonesia.

Cara pandang keliru dan dangkal tersebut, melahirkan pula kebijakan-kebijakanyang tidak berpihak pada perkembangan eksistensi kesenian. Walau nyata-nyata UUD 945, melalui pasal 32 Bab XIII menegaskan bahwa upaya pengembangan kesenian juga menjadi tanggung jawab pemerintah, namun dalam kenyataannya upaya-upaya pemerintah untuk mengembangkan kesenian masih jauh panggang dari api.

Kita yang selama ini memitoskan diri sebagai bangsa yang berkebudayaan tinggi bahkan adiluhung, ternyata tidak pernah memiliki strategi kesenian yang tepat untuk  mengembangkan kesenian, bahkan tak bisa mengembangkan dan meningkatkan apresiatornya. Kita hanya mempunyai sedikit perguruan tinggi seni, bahkan di tingkat SMP dan SMA/SMK kita nyaris tak mempunyai sekolah khusus kesenian. Kurikulum SMP dan SMA umum hanya memberikan porsi 2 jam untuk pendidikan kesenian dalam satu semesternya. Bahkan di SMK tak dijumpai mata pelajaran kesenian. Perhatian yang mnimal ini tentu saja tak bisa menghasilkan pengembangan apresiasi kesenian yang memadai dalam masyarakat.

Akhir-akhir ini bangsa kita mengalami berbagai macam krisis. Yang paling memprihatinkan adalah krisis kemanusiaan. Berabad-abad lamanya, kita pernah dimitoskan sebagai bangsa yang lemaqh-lembut, toleran, menjunjung tinggi kemanusiaan, namun akhir-akhir ini sepanjang hari kita dibenturkan dengan kenyataan bahwa kita telah menjadi bangsa anarkis, pemberang, pemaki, penghasut, tukang fitnah, intoleran, haus darah, perkelahian antarwarga, perkelahian siswa dan tak peduli dengan penderitaan orang lain.

Siapakah yang bisa menolong kita dari krisis kemanusiaan ini? Kapan kita kembali menjadi manusia yang utuh nilai kemanusiaannya? Apakah kemajuan teknologi yang akan menolong kita? Ilmu pengetahuankah?

Ternyata kemajuan teknologi dan puncak-puncak pengetahuan tidak berdaya menghadapi krisi kemanusiaan ini. Kita harus berpaling kembali pada dunia kesenian untuk mendampingi agama untuk mengasah kembali jiwa dan perasaan kemanusiaan kita.

Untuk itu, kesenian harus dipandang kembali utuh dengan sisi filosofinya, kemudian diterjemahkan dalam bentuk strategi kesenian yang tepat dengan tidak melupakan matra-matra kesenian atas seni yang  art, kria (craft), dan kitsch (ertertaimen/hiburan), sehingga tidak mencampuradukan untuk menghindarkan distorsi pengertian yang berakibat tak menguntungkan pada pembinaan kesenian. Dengan meletakkan kembali posisi kesenian sebagai sebuah wacana yang strategis dalam menciptakan manusia yang utuh, kita bisa berharap untuk dapat kembali menjadi bangsa yang berkemanusiaan. Semoga.***

*) Penulis adalah sastrawan, pemerhati budaya 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun