Mohon tunggu...
Tiyas Nur Haryani
Tiyas Nur Haryani Mohon Tunggu...

Alumni Administrasi Negara FISIP UNS, peminat studi gender, tinggal di Solo.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kaki Langit

24 Juni 2013   14:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:30 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13720590231391853081

"Bisakah besok kita ke puncak, menikmati hamparan hijau, duduk berdua dalam selimut kabut", kata Kakanda sembari menolehkan wajahnya ke arahku dalam.

"Ke gunung?", tanyaku spontan terperanjat kaget dengan ajakannya. "Janganlah kita ke gunung! Kata orang tua...", aku hentikan kalimat sebentar sembari menyentuh lembut pundaknya sebentar. "Kata orang tua, jika sepasang kekasih memadu kasih mereka ke ke kaki langit, maka hubungan mereka akan kandas", terangku lengkap dengan senyum simpul mengakhiri kalimatku" "Huh..kata orang tua, tidak juga lah", sanggahnya semabri muka bebal terhadap mitos. "Iya, itu mungkin.. Orang tua dengan banyak mitos mereka. Kata orang tua gunung itu adalah tempat suci, tempat bermunajat cinta kepadaNya, oleh karena itu mereka percaya sepasang kekasih yang memadu kasih di gunung tidak akan langgeng hubungannya", aku menjelaskan satu bagian awal.

Bibirku kembali meneruskan pembicaraan itu. Filosofi tentang kaki langit. Aku bagikan ceritaku padanya.

"Hamparan hijau yang terbentang luas di depan mata kita, kabut yang menyelimutinya turun satu per satu hingga menjadi sekawanan yang menutup segala arah pandang. Itu indah bukan? Lalu kita sebutkan Subhanallah, Alhamdulillah... Kita syukuri segala nikmatiNya. Kita bermunajat cinta kepadaNya. Saat kita mendaki puncak gunung kala langit telah bertabur bintang dan bersinar rembulan besar, kita melangkah dalam kegelapan, diantara pohon-pohon hutan raksasa yang gagah menghadang keberaniaan kita. Hati ini tak akan berhenti bertasbih kepadaNya. Kita bermunajat cinta kepadaNya. Itu di Kaki Langit", ulasku serius. "Dan saat kita ingin mencapai puncak dengan cepat dan cekat. Berjalan naik lurus memang akan membawa kita tiba di puncak dengan kaki kelelahan tentunya. Naik ke puncak, alangkah cerdasnya jika kita berjalan zig-zag, seperti dalam meraih tujuan hidup. Jalan lurus, naik satu demi satu langkah, satu anak tangga ke anak tangga berikutnya akan membawa kita ke puncak perjalanan hidup, tapi itu akan membutuhkan waktu lama, berbeda jika kita melangkah zig-zag", katanya rinci melengkapi filosofiku soal Kaki Langit.

Adzan magrib terdengar berkumandang, ini senja dalam bangku kayu panjang di sudut kampus. Aku bangun dari posisi dudukku, "Besok kita ke pantai, agar cinta kita awet seiring berjalannya usia kita. Kau tahu hamparan laut yang luas, kita akan sama-sama bermunajat di pantai, berdoa agar cinta kita seluas hamparan samudra di depan mata kita. Seindah cerita tentang senja di ujung garis pantai", kataki sebelum aku mengulurkan tanganku ke arahnya lalu mengajaknya ke masjid kampus mengakhiri pembicaraan kami. Solo, Juni 2013

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun