Kini, dengan Kluivert, seolah ada pesan tersirat, "Sudah cukup jadi kuda hitam. Sekarang saatnya kita jadi pemain utama."
Ini bukan soal ego, tapi soal mentalitas. Mentalitas untuk berani menyerang, berani gagal, dan berani belajar.
Ketika Dunia Mulai Melihat ke Arah Kita
Lucunya, perubahan ini membuat pelatih lawan justru mulai mempelajari kita. Dulu, mungkin pelatih lawan cukup menulis satu catatan singkat, "Indonesia? Bertahan dalam 3-5-2, serang balik lewat sayap cepat."
Sekarang? Tidak sesederhana itu. Kini mereka harus mempelajari bagaimana Indonesia membangun serangan dari tengah, bagaimana pemain seperti Marselino, Ivar Jenner, atau Diks saling bertukar posisi.
Gaya bermain baru ini membuat Indonesia punya warna. Dan warna itu mulai terlihat jelas di peta sepak bola Asia.
Masih Banyak PR, Tapi Arah Sudah Benar
Ya, pertahanan Indonesia masih goyah. Koordinasi di antara bek tengah dan fullback kadang hilang. Transisi dari menyerang ke bertahan sering terlambat.
Tapi semua itu bagian dari proses belajar. Sebuah harga yang harus dibayar untuk naik kelas.
Bahkan tim-tim besar seperti Jepang atau Korea Selatan dulu pernah melalui fase serupa, fase di mana mereka belajar berani menguasai bola meski berisiko kebobolan.
Indonesia kini sedang di tahap itu. Dan kalau proses ini dijaga dengan konsisten, bukan mustahil lima tahun ke depan kita akan melihat Timnas yang jauh lebih matang secara permainan.
Persiapan Menuju Laga vs Irak
Setelah laga melawan Arab Saudi, fokus berikutnya jelas, Irak. Pelatih Graham Arnold sudah melihat bagaimana Indonesia bermain. Ia tahu celahnya, tapi juga tahu bahayanya. Irak pasti tak akan meremehkan Garuda.
Namun justru di situlah kekuatannya. Kita kini bukan lagi tim yang diabaikan. Kita tim yang dipelajari, dianalisis, dan diwaspadai.