Kita hidup di era paradoks. Teknologi semakin canggih, pekerjaan bisa dilakukan di mana saja, tapi tingkat stres manusia justru meningkat. Banyak karyawan merasa tidak dihargai. Banyak pemimpin kehilangan empati. Banyak orang sukses tapi hampa.
Covey menyebut ini sebagai krisis makna, situasi di mana manusia tahu apa yang harus dilakukan, tapi tidak tahu mengapa ia melakukannya. Ia menulis,Â
"Orang bukanlah sumber daya. Mereka adalah makhluk yang memiliki jiwa, akal, dan hati."
Ketika organisasi gagal memahami hal ini, mereka kehilangan energi terbesar yang seharusnya mereka miliki, semangat manusia.
Kita bisa melihat gejalanya setiap hari, Karyawan burnout meski bekerja dari rumah. Pemimpin merasa kesepian meski punya tim besar. Anak muda bingung memilih karier karena semua tampak tak bermakna.
Covey menegaskan, solusi dari semua itu bukan sekadar manajemen waktu atau produktivitas, tapi kembali ke nilai kemanusiaan.
Temukan suaramu. Hiduplah dengan integritas. Dan bantu orang lain melakukan hal yang sama.
Suara dan Kepemimpinan, Menginspirasi Orang Lain untuk Bersinar
Covey melihat kepemimpinan bukan sebagai posisi, tapi sebagai pengaruh yang lahir dari keaslian diri. Pemimpin sejati bukan yang memerintah, melainkan yang membangkitkan suara orang lain.
Dalam istilah Covey,Â
"Leadership is communicating to people their worth and potential so clearly that they are inspired to see it in themselves."Â (Kepemimpinan adalah kemampuan membuat orang lain menyadari nilai dan potensi mereka sendiri.)
Inilah makna terdalam dari Kebiasaan Ke-8. Ketika kamu sudah menemukan suaramu, tugasmu berikutnya adalah menjadi cermin bagi orang lain. Membantu mereka menemukan keberanian untuk berbicara, berkreasi, dan berkontribusi.
Covey menyebut ini sebagai virtuous cycle, lingkaran kebaikan yang menular. Begitu satu orang menyalakan suaranya, ia memberi izin bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama.