Covey menyebut bahwa dunia modern telah memasuki era pekerja pengetahuan (knowledge workers), era di mana kekayaan terbesar bukan lagi tanah atau pabrik, melainkan ide, kreativitas, dan nilai kemanusiaan.
Masalahnya, sistem lama masih memperlakukan manusia seperti "alat produksi." Banyak organisasi yang mempekerjakan orang pintar tapi memperlakukan mereka seperti mesin. Mereka diminta berpikir, tapi tidak diberi ruang untuk bermakna.
Covey melihat ini sebagai sumber frustrasi terbesar di tempat kerja modern. Banyak orang sebenarnya punya potensi luar biasa, tapi terjebak dalam rutinitas tanpa arah. Mereka ingin berkembang, tapi tidak tahu ke mana harus melangkah.
Maka, The 8th Habit hadir untuk menjawab pertanyaan mendasar,Â
"Bagaimana cara menjadi unggul di dunia yang sudah terlalu efektif?"
Jawabannya, dengan menemukan suara hati (voice) kita, kombinasi unik dari bakat, gairah, kebutuhan dunia, dan hati nurani. Ketika empat unsur ini bertemu, lahirlah purpose, tujuan hidup yang melampaui sekadar karier atau uang.
Menemukan Suara Hati, Apa Maksud Covey Sebenarnya?
Bagi Covey, "suara" bukan sekadar bakat atau panggilan spiritual. "Suara" adalah inti kemanusiaan, titik tempat nilai, gairah, dan kontribusi kita bersatu. Ia mengajak kita merenung lewat pertanyaan-pertanyaan reflektif seperti, Apa hal yang benar-benar membuatku bersemangat? Nilai apa yang paling penting bagiku? Masalah apa di dunia ini yang ingin aku bantu selesaikan?
Ketika kamu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jujur, kamu mulai mendekati voice milikmu.
Covey percaya bahwa setiap orang punya suara unik, tak ada yang kecil, tak ada yang tidak penting. Tapi dunia yang bising sering membuat suara itu tenggelam. Buku ini adalah ajakan untuk menyimak kembali, menenangkan diri, dan mendengar bisikan lembut dari hati kita sendiri.
Ia menulis dengan sederhana namun menusuk,Â
"Dalam diri setiap manusia ada benih keagungan yang menunggu untuk dihidupkan."