Contoh nyata, seorang manajer yang harus menegur timnya bisa memakai sugar coating biar kritiknya terdengar sebagai masukan, bukan serangan.
2. Sisi Negatif
- Bisa jatuh ke penjilatan, memuji berlebihan demi disukai atasan.
- Mengaburkan fakta, menutupi kesalahan besar dengan kata manis.
- Menimbulkan ketidakpercayaan di tim, karena dianggap manipulatif.
- Lama-lama bikin budaya kerja nggak sehat, semua jadi serba kepura-puraan.
Kalau sudah sampai tahap ini, sugar coating bukan lagi soal komunikasi baik, tapi lebih ke strategi licik.
Kenapa Orang Melakukannya?
Ada beberapa alasan kenapa sugar coating marak di dunia kerja, terutama di Indonesia.
Orang Indonesia terkenal suka menjaga perasaan. Daripada bilang "jelek", lebih aman pakai "lumayan". Daripada bilang "nggak setuju", lebih aman pakai "mungkin bisa dipertimbangkan lagi".
Ada orang yang sadar betul, semakin dekat dengan atasan, semakin besar peluang promosi. Maka, sugar coating jadi jalan pintas buat mencuri perhatian.
Sebagian orang nggak nyaman dengan konfrontasi. Jadi, lebih baik memilih kata manis biar aman, meski sebenarnya ada banyak hal yang ingin diungkapkan.
Secara psikologis, semua orang suka dipuji. Maka, sugar coating sering jadi alat untuk mendapatkan penerimaan sosial.
Dampaknya di Dunia Kerja
Sugar coating bisa punya efek domino.
Bagi Individu, Dalam jangka pendek, mungkin dia terlihat "disayang atasan". Tapi dalam jangka panjang, rekan kerja bisa kehilangan respek. Orang juga jadi sulit membedakan mana kata-kata tulus, mana yang sekadar basa-basi.
Bagi Tim, Bisa menimbulkan iri, bahkan konflik. Tim jadi terbelah, ada yang ikut-ikutan sugar coating, ada yang muak dan memilih menjauh.
Bagi Perusahaan, Budaya kerja bisa rusak. Meritokrasi, di mana orang dihargai karena kinerja, tergerus oleh "politik manis". Akibatnya, yang lebih pandai berbasa-basi bisa lebih dihargai daripada yang benar-benar kompeten.