Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

#Serunya17an di Antara Panjat Pinang dan Panjat Sosial, Yakin Kita Sudah Benar-Benar Merdeka?

17 Agustus 2025   13:11 Diperbarui: 17 Agustus 2025   13:11 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
#Serunya17an di Antara Panjat Pinang dan Panjat Sosial, Yakin Kita Sudah Benar-Benar Merdeka? | bisnis.com

Pejamkan mata sejenak. Hirup dalam-dalam aromanya. Aroma khas minyak goreng dari kerupuk yang digantung di tali rapia, bercampur dengan bau tanah basah di lapangan becek tempat lomba balap karung. Dengarkan suaranya. Riuh tawa anak-anak yang wajahnya belepotan cokelat, suara cempreng dari toa karatan yang memanggil nama pemenang lomba kelereng, dan tentu saja, lagu-lagu perjuangan yang diputar berulang-ulang hingga kita hafal di luar kepala.

Itulah potret #Serunya17an. Panggung kebahagiaan kolektif paling jujur yang kita miliki. Feed Instagram dan TikTok kita penuh dengan wajah-wajah ceria, bendera merah putih virtual, dan caption penuh semangat. Kita merayakan persatuan, merayakan kebersamaan, merayakan... kemenangan.

Namun, di tengah semua gelak tawa dan euforia yang memabukkan itu, pernahkah sebuah pertanyaan iseng mampir di benakmu? Pertanyaan sederhana yang sedikit mengganggu. Kemerdekaan dari apa yang sebenarnya sedang kita rayakan hari ini?

Di balik #Serunya17an, ada refleksi kemerdekaan kini. Perayaan ini adalah cermin perjuangan melawan 'penjajahan' modern: hoaks hingga ketimpangan. - Tiyarman Gulo

Lomba Makan Kerupuk dan Perekat Sosial yang (Hampir) Punah

Di era di mana kita begitu mudah terkotak-kotak, 17an adalah sebuah anomali yang ajaib. Lupakan sejenak tagar #01 atau #02 yang pernah membelah pertemanan di media sosial. Di hari itu, semua lebur menjadi satu. Bapak-bapak yang di grup WhatsApp saling sindir soal politik, kini bahu-membahu menjadi tim tarik tambang yang solid. Ibu-ibu yang mungkin berbeda pilihan, kini tertawa bersama melihat suaminya jatuh bangun di lomba bakiak.

Tradisi 17an. Lomba, kerja bakti, hingga malam tirakatan adalah oase di tengah gurun polarisasi. Ia menjadi semacam reset button tahunan bagi tenun kebangsaan kita yang rapuh. Ia mengingatkan kita bahwa di balik semua perbedaan, ada satu identitas yang mengikat. Kita sama-sama penghuni gang ini, kampung ini, negara ini.

Ini bukan sekadar seru-seruan. Ini adalah ritual sosial. Sebuah mekanisme pertahanan budaya yang menjaga kita agar tidak lupa caranya menjadi manusia yang guyub, yang bisa menertawakan kekalahan bersama, dan merayakan kemenangan kecil dengan segelas es sirup gratis dari panitia. Momen ini adalah lem sosial paling kuat, sebuah bukti bahwa di level akar rumput, persatuan itu nyata dan bisa dirasakan, bukan cuma slogan di spanduk pejabat.

Di Balik Tawa Lomba, Ada Realita yang Perlu Dibaca

Namun, ironisnya, begitu panggung-panggung kecil itu dibongkar dan bendera plastik mulai diturunkan, kita kembali dihadapkan pada "penjajah-penjajah" tak kasat mata di abad ke-21. Kemerdekaan yang kita rayakan dengan gegap gempita terasa begitu kontras dengan belenggu yang kita hadapi setiap hari.

1. Merdeka di Medsos, Terpasung di Realitas? Kemerdekaan Berekspresi Kita.

Tangan kita begitu lincah memposting foto #Serunya17an dengan caption "MERDEKA!". Tapi, seberapa merdeka jari-jemari yang sama untuk mengetik sebuah kritik terhadap kebijakan publik? Kita hidup di zaman paradoks. Kebebasan berekspresi dijamin konstitusi, namun UU ITE dan budaya perundungan siber menjadi hantu yang siap menerkam.

Kita bisa melihat bagaimana sebuah cuitan kritis bisa berujung pada laporan polisi, atau bagaimana opini yang berbeda bisa diserbu oleh "pasukan buzzer" yang tujuannya bukan untuk berdiskusi, tapi membungkam. Akhirnya, banyak dari kita yang memilih untuk "main aman". Kita menjadi merdeka untuk memuji, tapi berpikir seribu kali untuk mengkritik. Kita merdeka untuk ikut tren, tapi takut untuk menyuarakan kebenaran yang tidak populer. Jadi, apakah kita benar-benar sudah merdeka bicara, atau kita hanya merdeka di dalam "zona gembira" yang diizinkan?

2. Riuhnya Lomba Balap Karung, Sunyinya Dompet di Akhir Bulan.

Siapa yang tidak senang memenangkan lomba panjat pinang? Hadiahnya mungkin hanya sebungkus deterjen, beberapa bungkus mi instan, dan sebuah ember. Euforianya luar biasa. Tapi setelah itu, kita kembali pada perjuangan memanjat kehidupan yang sesungguhnya. Kemerdekaan ekonomi masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar rakyat.

Generasi kita, Milenial dan Gen Z, adalah saksi hidupnya. Kita berjuang di tengah persaingan kerja yang brutal, dihantui oleh cicilan, dan terjebak dalam fenomena sandwich generation. Harga kebutuhan pokok pelan-pelan merangkak naik, sementara kenaikan gaji terasa seperti mitos. Kontrasnya begitu menusuk. Kita merayakan kemerdekaan dengan lomba yang hadiahnya adalah kebutuhan pokok, karena bagi banyak orang, mendapatkan kebutuhan pokok itu sendiri sudah seperti sebuah perlombaan yang berat. Merdeka dari kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, bagi sebagian besar dari kita, tampaknya masih sebatas mimpi.

3. Dijajah Hoax, Saat Musuh Terbesarmu Adalah 'Forward-an' dari Grup Keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun