Di hadapan saya, duduk seorang anak muda dengan CV yang mentereng. IPK nyaris sempurna, 4.0. Deretan prestasi organisasi dan akademis terpajang rapi. Saat saya lontarkan pertanyaan teknis seputar bidang ilmunya, jawabannya lancar seperti air mengalir dari buku teks. Cerdas? Tentu. Kompeten di bidangnya? Tidak diragukan.
Tapi kemudian, saya mengajukan sebuah pertanyaan sederhana,Â
"Ceritakan satu kegagalan terbesar dalam hidupmu dan apa yang kamu pelajari dari sana?"
Hening.
Anak muda brilian di depan saya itu terdiam cukup lama. Matanya mengerjap, mencari-cari jawaban di langit-langit ruangan. Akhirnya, ia menjawab ragu,Â
"Sepertinya... saya tidak pernah benar-benar gagal, Pak."
Saat itulah sebuah kegelisahan yang sudah lama terpendam kembali muncul di benak saya. Setiap kali saya duduk di kursi ini, mewawancarai talenta-talenta muda harapan bangsa, saya semakin sadar. Sistem pendidikan kita mungkin telah berhasil menciptakan ribuan "robot pintar", tapi tampaknya kita lupa cara membentuk "manusia utuh".
Ini bukan salah mereka, para lulusan baru ini. Sama sekali bukan. Mereka adalah produk terbaik dari sebuah sistem yang selama belasan tahun mengajari mereka satu hal. Nilai adalah segalanya, dan kegagalan adalah aib yang harus dihindari.
Pendidikan kita menciptakan robot pintar, bukan manusia utuh. Dunia kerja butuh lulusan tangguh yang siap gagal, berkolaborasi, dan punya empati. - Tiyarman Gulo
Parade "Juara Kelas" yang Rapuh di Dunia Nyata
Dunia kerja adalah sebuah hutan belantara yang kejam sekaligus indah. Di sini, ijazah dan transkrip nilai hanyalah selembar tiket masuk. Begitu berada di dalam, yang diuji bukanlah kemampuanmu menghafal rumus, melainkan kemampuanmu beradaptasi saat rumus itu tak lagi relevan. Yang dinilai bukanlah seberapa cepat kamu bisa menjawab, melainkan seberapa tangguh kamu saat menghadapi masalah yang bahkan pertanyaannya pun belum jelas.
Saya sering melihat pola yang sama. Lulusan dengan nilai sempurna bisa jadi orang pertama yang panik saat proyek menemui jalan buntu. Mereka terbiasa dengan soal yang pasti ada jawabannya di halaman belakang buku. Ketika dihadapkan pada masalah nyata yang jawabannya harus dicari, diramu, dan kadang diciptakan dari nol, mereka gamang.
Pendidikan kita, tanpa sadar, telah memasangkan "kacamata kuda" pada anak-anak kita. Mereka dilatih untuk berlari kencang di lintasan yang lurus dan sempit. Mereka juara di lintasan itu. Tapi begitu dilepaskan ke padang rumput yang luas dan tak terduga, mereka bingung harus melangkah ke mana.