Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tragedi Dea Purwakarta, Ada Ancaman dan Melapor Namun Diabaikan!

14 Agustus 2025   15:14 Diperbarui: 14 Agustus 2025   13:32 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tragedi Dea Purwakarta, Ada Ancaman dan Melapor Namun Diabaikan! | tribun

Anda menerima sebuah pesan di ponsel Anda. Bukan pesan biasa, tapi sebuah ancaman. Esoknya, Anda merasa ada sepasang mata asing mengawasi dari kejauhan. Beberapa hari kemudian, dinding rumah Anda dilempari cat oleh orang tak dikenal. Anda ketakutan. Anda melapor. Tapi tak ada yang datang. Jeritan minta tolong Anda seolah lenyap ditelan angin.

Ini bukanlah adegan dari sebuah film thriller. Ini adalah kenyataan pahit yang dialami Dea Permata Karisma, seorang wanita 27 tahun di Purwakarta, selama tiga bulan penuh sebelum napasnya direnggut paksa di rumahnya sendiri.

Kisah kematian Dea bukanlah sekadar berita kriminal biasa tentang pembunuhan sadis. Ini adalah sebuah kronik yang memilukan tentang tanda-tanda bahaya yang muncul satu per satu, tentang teriakan minta tolong yang tak didengar, dan tentang pertanyaan terbesar yang kini menghantui kita semua. Bisakah tragedi ini dicegah?

Dea (27) tewas di Purwakarta setelah berbulan-bulan diteror. Laporannya ke aparat diabaikan, sebuah tragedi dari jeritan minta tolong yang tak didengar. - Tiyarman Gulo

Selasa Siang di Jatimekar

Selasa, 12 Agustus 2025, seharusnya menjadi hari yang biasa saja di Desa Jatimekar, Purwakarta. Namun, sekitar pukul 13.30 WIB, sebuah teriakan histeris memecah keheningan. Asisten rumah tangga Dea berlari keluar rumah dengan wajah pucat pasi, mencari pertolongan.

"Ibu, ibu, Bu Dea dibunuh!"

Kalimat itu menyentak para tetangga. Salbiah, salah satu tetangga terdekat, bersama warga lainnya memberanikan diri masuk. Apa yang mereka lihat adalah pemandangan yang akan terpatri selamanya dalam ingatan mereka. Dea Permata Karisma tergeletak tak bernyawa, bersimbah darah.

Namun, ada satu detail mengerikan yang menjadi petunjuk pertama. Jejak kaki berdarah di dekat pintu dapur. 

"Saya mau masuk, tapi ada bekas tapak kaki yang seperti habis menginjak darah," tutur Salbiah. 

Jejak itu adalah tanda bisu dari pelaku yang kabur, sebuah bukti bahwa kejahatan keji baru saja terjadi di rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman.

Polisi segera tiba, garis kuning membentang, dan rumah itu menjadi pusat investigasi. Namun, bagi keluarga dan mereka yang mengenal Dea, tragedi ini bukanlah sebuah kejutan yang datang tiba-tiba. Ia adalah puncak dari gunung es teror yang telah menghantuinya selama berbulan-bulan.

Di Balik Senyum Ramah Dea, Siapa Sebenarnya Sang Korban?

Untuk memahami betapa tidak adilnya takdir Dea, kita perlu mengenal siapa dirinya. Dea Permata Karisma bukanlah sosok yang hidup dalam lingkaran kegelapan. Sebaliknya, ia adalah pribadi yang hangat, supel, dan dikenal ramah oleh para tetangganya. 

"Dea orangnya suka ketawa sama siapa saja," kenang Salbiah.

Sebelum menjadi ibu rumah tangga, Dea adalah seorang staf HRD di sebuah perusahaan. Sebuah profesi yang menuntutnya untuk banyak berinteraksi dan, tak jarang, menolong orang lain, termasuk membantu mereka mencari pekerjaan. Kebaikan inilah, ironisnya, yang diduga menjadi benih dari malapetaka yang menimpanya.

Ia tinggal bersama suaminya yang karena tuntutan pekerjaan sering pulang larut malam. Kondisi ini membuatnya sering sendirian di rumah, hanya ditemani oleh asisten rumah tangganya. Sebuah potret keluarga muda biasa, yang tak pernah menyangka bahwa kebaikan dan kehidupan normal mereka akan terusik oleh dendam dari masa lalu.

Tiga Bulan dalam Teror, Saat Laporan Hanya Jadi Tumpukan Kertas!

Inilah bagian paling menyakitkan dari keseluruhan cerita ini. Kematian Dea didahului oleh rentetan teror yang sistematis, yang dimulai sejak Mei 2025. Selama tiga bulan, ia hidup dalam ketakutan.

Yuli Ismawati, ibu kandung Dea, dengan suara bergetar menceritakan keluh kesah putrinya.

  • Teror Digital. Semua dimulai dari pesan ancaman via WhatsApp. Kata-kata kasar yang memerintahkan Dea menjauhi seseorang yang pernah ia bantu.

  • Teror Fisik. Ancaman itu naik level. Dea mengaku diintai oleh dua hingga tiga orang bermasker di sekitar rumahnya. Rumahnya pernah dilempari cat. Puncaknya, ada yang berani masuk ke dalam pekarangan rumahnya.

  • Ancaman Pembunuhan. Pesan di WhatsApp semakin eksplisit. "Dea juga diancam dibunuh lewat WA," kata ayahnya, Sukarno.

Keluarga tidak tinggal diam. Mereka melakukan apa yang akan dilakukan oleh orang waras mana pun. Meminta pertolongan! Yuli menyarankan Dea memasang CCTV dan, yang terpenting, melapor ke pihak berwajib alias POLISI.

Dea mengikuti saran itu. Ia melapor. Ke Babinsa. Ke Polsek Jatiluhur. Tapi apa yang terjadi selanjutnya adalah sebuah antiklimaks yang memilukan.

"Sudah lapor, tapi tak ada yang datang," keluh Yuli sambil terisak.

Betapa frustrasinya perasaan Dea dan keluarganya. Mereka sudah memberikan sinyal bahaya yang jelas, menyerahkan bukti, dan meminta perlindungan. Namun, laporan itu seolah tak dianggap serius. Jeritan minta tolong mereka hanya menjadi gema di ruang hampa, hingga akhirnya teror itu mencapai puncaknya di lantai rumah Dea yang dingin.

Benang Merah Dendam dan Pelajaran Pahit untuk Kita Semua

Penyelidikan polisi kini mengerucut pada motif dendam pribadi. Diduga kuat, pelaku adalah orang yang sama atau terkait dengan pihak yang mengirimkan teror. Mereka marah karena Dea, dalam kapasitasnya sebagai HRD dulu, menolong seseorang mendapatkan pekerjaan. Sebuah tindakan kebaikan yang dibalas dengan kebencian buta.

Kasus ini lebih dari sekadar berita. Ia adalah sebuah surat terbuka yang ditulis dengan darah. Surat yang ditujukan kepada kita semua, terutama kepada aparat penegak hukum.

  1. Ancaman Adalah Fakta, Bukan Fiksi. Setiap laporan tentang pengintaian, teror, dan ancaman harus diperlakukan sebagai kondisi darurat. Itu bukan drama atau keluhan berlebihan. Itu adalah tahap awal sebelum sebuah kejahatan yang lebih besar terjadi.

  2. Kekuatan Respons Cepat. Respons yang cepat dari aparat bisa menjadi garis tipis antara hidup dan mati. Sebuah patroli, sebuah panggilan interogasi kepada terduga pengancam, bisa memberikan efek jera dan mungkin saja, akan menyelamatkan nyawa Dea.

  3. Jangan Pernah Meremehkan Intuisi Korban. Korban teror sering kali tahu bahwa hidup mereka dalam bahaya. Ketika mereka datang melapor, mereka tidak sedang mencari perhatian. Mereka sedang berjuang untuk bertahan hidup.

Kini, sementara polisi memburu pelaku, sebuah pertanyaan getir tetap menggantung di udara Purwakarta. Keadilan untuk Dea bukan hanya tentang menangkap pembunuhnya. Keadilan sejati adalah saat kita bisa memastikan tidak akan ada lagi "Dea" yang lain. Tidak akan ada lagi jeritan minta tolong yang diabaikan, dan tidak ada lagi keluarga yang harus menangis karena tragedi yang seharusnya bisa dicegah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun