Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menemukan Jiwa Indonesia yang Sebenarnya di Pasar Tradisional

10 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 9 Agustus 2025   18:47 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lupakan sejenak suara notifikasi ponselmu. Coba pejamkan mata dan dengarkan baik-baik. Apa yang kamu dengar dari sebuah pasar tradisional? Bukan, bukan cuma suara teriakan penjual atau riuh tawar-menawar. Dengarkan lebih dalam. Ada derap langkah ribuan nasib, aroma rempah yang bercampur dengan bau tanah basah, dan tawa renyah yang terlepas di sela-sela transaksi.

Jika kamu benar-benar ingin mengenal Indonesia, jangan hanya datang ke mal-mal megahnya atau kafe-kafe cantiknya. Datanglah ke jantungnya yang sesungguhnya berdetak, yup pasar tradisional. Di sinilah panggung sandiwara kehidupan dipentaskan setiap hari tanpa naskah. Di lorong-lorongnya yang kadang becek dan sempit, tersimpan ribuan kisah, terukir sejarah, dan dilestarikan budaya dengan cara yang paling jujur.

Mari kita berkelana, menyusuri sebagian kecil dari 1001 wajah pasar ikonik di Nusantara, tempat di mana transaksi bukan hanya soal uang, tapi juga soal koneksi.

Pasar ikonik Nusantara lebih dari tempat jual-beli. Ia adalah jantung budaya, panggung sosial, dan cerminan jiwa Indonesia yang sesungguhnya. - Tiyarman Gulo

Panggung Raksasa Ibu Kota, Dari Grosir hingga Ruang Kreatif

Jakarta, sang raksasa metropolitan, menyimpan denyut pasar yang beragam seperti wajah penduduknya. Di jantungnya, berdiri Pasar Tanah Abang, sebuah legenda yang lahir sejak tahun 1735. Ini bukan sekadar pasar, ini adalah lautan tekstil, labirin raksasa tempat jutaan helai kain dan ribuan pedagang dari seluruh penjuru negeri mengadu nasib. Kisah perjuangan dan ambisi yang terjalin di setiap sudutnya adalah cerminan semangat juang ekonomi bangsa ini.

Namun, Jakarta juga bisa berevolusi. Lihatlah Pasar Santa. Siapa sangka pasar yang dulu mungkin identik dengan becek, kini telah bertransformasi menjadi inkubator kreativitas anak muda? Di antara kios sayur-mayur, kamu akan menemukan toko piringan hitam yang langka, kedai kopi dengan seduhan artisan, dan studio desain independen. Pasar Santa adalah bukti bahwa tradisi dan modernitas bisa menari bersama dalam harmoni yang indah.

Belum lagi Pasar Glodok, sebuah portal waktu menuju pecinan tua dengan segala aroma dan nuansa kultural Tionghoa yang otentik, atau Pasar Jatinegara, surga bagi para pemburu barang antik dan elektronik bekas yang percaya bahwa harta karun terbaik sering kali tersembunyi di tempat yang tak terduga.

Jantung Jawa, Tempat Filosofi dan Sejarah Bertemu di Lapak Dagangan

Bergeser ke tanah Jawa, pasar bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal filosofi. Di Yogyakarta, Pasar Beringharjo bukan sekadar bangunan. Namanya, yang berarti "hutan beringin yang membawa kesejahteraan", adalah anugerah dari Sultan Hamengku Buwono IX. Lokasinya merupakan bagian dari sumbu filosofis lurus yang menghubungkan Gunung Merapi, Tugu, Keraton, hingga Laut Selatan. Berbelanja di Beringharjo terasa seperti menyusuri lorong sejarah, mencium wangi jamu gendong, menyentuh kelembutan batik tulis, dan mencicipi gudeg yang rasanya tak pernah berubah.

Di kota tetangganya, Solo, ada Pasar Klewer yang menjadi kiblat batik Nusantara. Namun, ada pula saudaranya yang lebih tenang dan mistis, Pasar Triwindu. Berjalan di pasar ini seperti masuk ke dalam mesin waktu. Setiap barang antik, dari radio tabung, koin kuno, hingga perabot lawas, seolah berbisik tentang zaman yang telah lalu, menawarkan sepotong nostalgia bagi siapa pun yang mau mendengarkan.

Dan di tengah rimbunnya hutan bambu di Temanggung, ada sebuah keajaiban bernama Pasar Papringan. Pasar ini adalah sebuah mimpi yang menjadi nyata. Hanya buka pada hari Minggu Wage dan Pon, keunikannya tidak hanya pada lokasinya yang magis, tapi juga pada alat transaksinya. Lupakan rupiah sejenak. Di sini, kamu berbelanja menggunakan pring, kepingan bambu yang menjadi mata uang resmi, menciptakan sebuah pengalaman sureal yang tak akan kamu temukan di tempat lain.

Keajaiban di Luar Jawa, Saat Tradisi Melampaui Imajinasi

Melangkahlah ke luar Jawa, dan kamu akan menemukan keunikan yang melampaui batas imajinasi. Di atas aliran Sungai Martapura di Banjarmasin, sebuah pemandangan spektakuler tersaji setiap pagi. Inilah Pasar Terapung Lok Baintan. Ratusan perahu kecil, atau jukung, yang penuh dengan buah-buahan dan sayuran segar, saling merapat dalam tarian perdagangan yang telah berlangsung sejak abad ke-18. Di sini, kamu bahkan masih bisa menyaksikan sistem barter kuno yang disebut bapanduk, sebuah warisan budaya tak benda yang begitu berharga.

Terbanglah ke pedalaman Wamena, Papua. Di tengah hutan, ada sebuah Pasar Kaget di mana masyarakat Suku Dani menggelar hasil karya tangan mereka. Ini adalah pengalaman paling otentik yang bisa kamu dapatkan. Membeli noken (tas rajut tradisional) langsung dari mama-mama pembuatnya, atau melihat perhiasan dari taring babi, bukan sekadar transaksi. Itu adalah interaksi langsung dengan budaya yang murni dan tak tersentuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun