Kalimat ini adalah inti dari segalanya. Ia menunjukkan sebuah pergulatan batin. Sebagai manusia, ia sadar akan ajaran untuk memaafkan, menyerahkan pada Tuhan Yang Maha Pemaaf. Namun, sebagai seorang ayah, ia memiliki tanggung jawab duniawi yang tak bisa dinegosiasikan: melindungi anaknya dari bahaya.
Ketika dua peran ini berbenturan, Ruben dengan tegas memilih perannya sebagai pelindung. Keputusannya untuk "melanjutkan" proses hukum adalah penegasan bahwa ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ada perbuatan yang harus dibayar dengan konsekuensi hukum yang setimpal, terutama ketika korbannya adalah anak yang tak berdaya. Ini bukan lagi soal sakit hati pribadi, ini soal penegakan keadilan untuk anaknya.
Dari Kata-kata Menjadi Laporan Polisi
Ruben Onsu membuktikan bahwa ini bukan gertak sambal. Pada Kamis siang itu juga, ia dan tim kuasa hukumnya mendatangi Polda Metro Jaya. Laporan resmi dibuat dan teregistrasi dengan nomor LP/B/5364/VII/SPKT/POLDA METRO JAYA.
Ini bukan sekadar laporan pencemaran nama baik biasa. Ini adalah sebuah serangan hukum yang terstruktur dengan jerat pasal berlapis. Tim hukum Ruben mempersiapkan "senjata" paling berat yang bisa mereka gunakan, meliputi:
Pasal 310 & 311 KUHP Tentang pencemaran nama baik dan fitnah.
Pasal 27 & 32 UU ITE Pasal karet yang terkenal, menjerat penyebaran konten ilegal dan pencemaran nama baik di dunia elektronik.
Dan yang paling berat, Pasal 76C & 80 UU Perlindungan Anak, Ini yang mengubah segalanya. Dengan memasukkan pasal ini, Ruben menegaskan bahwa kasus ini bukan lagi sekadar sengketa antar-individu, melainkan kejahatan terhadap anak. Ancaman hukumannya jauh lebih serius dan tak bisa dianggap enteng.
Langkah ini mengirimkan pesan yang sangat jelas, Saya tidak sedang bermain-main. Saya akan mengejar Anda sampai ke ujung hukum dengan semua amunisi yang saya miliki.
Pelajaran Pahit untuk Jagat Maya
Kasus ini adalah sebuah pengingat keras bagi kita semua. Jari-jari yang dengan mudahnya mengetik hinaan, fitnah, dan perundungan di balik layar anonimitas media sosial kini dihadapkan pada konsekuensi nyata. Ruben Onsu, dengan kekuatan dan sumber dayanya, telah menjadi representasi dari kemarahan para orang tua di seluruh Indonesia yang anaknya pernah menjadi korban.
Ia menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat berhenti total ketika ia berubah menjadi kebebasan untuk menghancurkan mental seorang anak.
Tawa Ruben Onsu mungkin akan kembali terdengar di layar kaca. Tapi di ruang hukum, keseriusannya kini menjadi sebuah preseden. Sebuah pelajaran mahal bagi akun Vina Run dan ribuan akun anonim lainnya, bahwa di balik setiap anak yang mereka rundung, ada orang tua yang siap berubah menjadi singa untuk melindunginya.