Di akhir pekan, saat penat melanda, Anda mengajak teman atau keluarga pergi ke mal. Anda merasakan sensasi dingin dari pendingin udara yang menerpa wajah, berjalan di antara keramaian, melihat lampu-lampu gemerlap dari etalase toko-toko mewah. Anda mungkin masuk ke sebuah toko, memegang bahan sebuah kemeja, mencoba sebuah sepatu, atau sekadar melihat-lihat barang lucu.
Lalu, setelah beberapa jam berkeliling, Anda pulang. Satu-satunya transaksi yang Anda lakukan adalah membayar parkir dan mungkin membeli segelas es teh di pujasera. Dompet Anda nyaris utuh.
Jika skenario ini terdengar sangat familiar, selamat, Anda mungkin adalah bagian dari sebuah "gerakan" masif tak terorganisir yang kini punya nama, Rojali, alias Rombongan Jarang Beli.
Fenomena ini membuat pusing para pemilik gerai dan pengelola mal. Pusat perbelanjaan penuh sesak, tapi angka di mesin kasir tak kunjung bergerak naik.Â
Namun, bagi jutaan orang seperti Meuthia, Karina, dan Amalia, ini adalah kewajaran. Ini adalah bagian dari cara mereka bertahan hidup dan mencari kebahagiaan di tengah kerasnya kehidupan kota.
Jadi, sebelum kita ikut-ikutan menghakimi, mari kita selami lebih dalam. Kenapa "Rojali" menjamur? Apakah ini tanda kemalasan, atau justru sebuah sinyal bahaya dari kondisi ekonomi kita yang sebenarnya?
Fenomena 'Rojali' (rombongan jarang beli) merebak di mal. Penyebabnya adalah tekanan ekonomi dan inflasi yang menggerus daya beli kelas menengah. - Tiyarman Gulo
Suara Hati Para 'Rojali' Bukan Tak Mau Beli, Tapi...
Untuk memahami sebuah fenomena, kita harus mendengarkan para pelakunya. Mereka bukanlah alien; mereka adalah kita, teman kita, atau saudara kita.
Bagi Meuthia Nafasya (25), seorang karyawan swasta, mal adalah sebuah galeri inspirasi. "Seringnya cuma jalan-jalan, lihat-lihat barang lucu buat referensi. Paling sering ke mal buat makan," akunya. Ini adalah strategi cerdas: melihat tren terbaru secara langsung, lalu mungkin mencarinya nanti dengan harga lebih murah di tempat lain.
Lain lagi dengan Karina Rahma (25). Baginya, mal adalah oasis di tengah kegersangan finansial akhir bulan. "Kalau ada barang yang cocok, baru saya beli di awal bulan setelah gajian," katanya. Mal menjadi tempat "cuci mata" gratis, sebuah pelarian singkat dari rutinitas tanpa harus membobol rekening. Selama tidak mengganggu pegawai, apa salahnya?
Bahkan bagi Amalia Nauvali (33), seorang ibu rumah tangga sekaligus guru, mal punya fungsi multifaset. "Kadang sekalian makan, ngadem, atau jalan-jalan. Hitung-hitung olahraga gratis," ujarnya sambil tertawa. Logikanya sederhana dan sulit dibantah: setidaknya mereka tetap berkontribusi dengan membayar parkir, dan siapa tahu tergoda membeli camilan.