Palu hakim mungkin sudah diketuk, vonis 4,5 tahun penjara sudah diumumkan, dan opini publik sudah terbelah. Bagi banyak orang, kasus Tom Lembong seolah sudah selesai. Namun, di balik layar, sebuah pertempuran baru yang jauh lebih teknis dan fundamental justru baru saja dimulai. Kubu Tom Lembong, yang dipimpin oleh pengacaranya, Ari Yusuf Amir, tidak sedang menyiapkan surat permohonan keringanan hukuman.
Mereka sedang mengasah pedang argumen untuk membongkar jantung dari vonis itu sendiri. Target mereka? Sebuah konsep yang selama ini terdengar sakral dalam kasus korupsi: "kerugian negara". Menurut mereka, angka yang menjadi dasar hukuman Tom Lembong bukanlah kerugian nyata, melainkan sebuah "matematika aneh" yang didasarkan pada potensi dan asumsi. Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah perdebatan angka bisa menentukan nasib seseorang di meja banding.
Kubu Tom Lembong banding, sebut vonis keliru. Kerugian negara dinilai hanya potensi keuntungan yang hilang (potential loss), bukan kerugian nyata. - Tiyarman Gulo
Serangan Pertama, "Audit BPKP Terbantahkan!"
Langkah pertama tim kuasa hukum adalah menggoyahkan pilar utama yang digunakan jaksa: hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Jaksa menuntut berdasarkan kerugian negara versi BPKP sebesar Rp578 miliar. Namun, dalam putusannya, hakim justru punya hitungan sendiri.
"Pada akhirnya, yang menghitung kerugian keuangan negara adalah majelis, sehingga seluruh hasil audit (BPKP) terbantahkan," kata Ari Yusuf Amir dalam pernyataan resminya.
Ini adalah sebuah pernyataan yang sangat kuat. Logikanya sederhana: jika hakim saja tidak menggunakan angka dari BPKP secara utuh dan malah membuat perhitungannya sendiri, itu menunjukkan bahwa hasil audit BPKP itu sendiri tidak cukup kokoh untuk dijadikan satu-satunya pegangan. Ini adalah celah pertama yang mereka temukan dan akan mereka manfaatkan sepenuhnya di tingkat banding.
Kerugian Nyata vs Potensi Keuntungan yang Hilang
Di sinilah letak inti pertempuran intelektualnya. Majelis hakim memang menyimpulkan ada kerugian negara, tapi angkanya "hanya" Rp194 Miliar, jauh di bawah tuntutan jaksa. Namun, yang lebih penting bukanlah jumlahnya, melainkan asal-usul angka tersebut.
Menurut hakim, kerugian Rp194 miliar itu timbul karena PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI), sebuah BUMN, membeli gula dari importir swasta dengan harga yang "terlalu mahal".
Begini penjelasannya secara sederhana.
Harga Pokok Penjualan (HPP) atau modal gula saat itu seharusnya Rp8.900 per kilogram.
Namun, PT PPI membeli gula dari importir swasta (yang mendapat izin dari Tom Lembong) seharga Rp9.000 per kilogram.
Selisih Rp100 per kilogram inilah yang dianggap hakim sebagai kerugian negara. Uang tersebut, menurut hakim, "seharusnya adalah bagian keuntungan yang seharusnya diterima oleh PT PPI Persero."