Kamu sedang berada di salah satu gerai Mie Gacoan. Antreannya mengular seperti biasa, aroma pedas dan gurih dari dapur menyeruak menggoda selera. Sambil menunggu pesananmu dipanggil, telingamu pasti ditemani alunan musik, playlist lagu-lagu hits yang memompa semangat dan membuat waktu menunggu jadi tak terasa. Suasananya hidup, seru, dan penuh energi.
Tapi, pernahkah kamu berpikir sejenak, Siapa yang membayar lagu-lagu itu? Apakah semudah memutar playlist Spotify pribadi di speaker raksasa? Ternyata, di balik alunan musik yang terdengar riang itu, ada sebuah masalah hukum serius yang kini menyeret salah satu petinggi jenama mi pedas terpopuler di Indonesia ini ke ranah pidana.
Direktur Mie Gacoan Bali jadi tersangka kasus hak cipta. Diduga memutar musik di gerai tanpa bayar royalti kepada musisi. - Tiyarman Gulo
Sebuah Nama, Sebuah Panggilan dari Polda Bali
Kabar mengejutkan datang dari Pulau Dewata. Kepolisian Daerah Bali secara resmi menetapkan I Gusti Ayu Sasih Ira, Direktur PT Mitra Bali Sukses, sebagai tersangka. Mungkin nama perusahaan itu terdengar asing, tapi produk yang mereka kelola sangatlah kita kenal, Mie Gacoan.
PT Mitra Bali Sukses adalah perusahaan yang memegang kendali operasional Mie Gacoan untuk wilayah Bali dan seluruh area di luar Pulau Jawa. Penetapan tersangka ini bukanlah karena masalah rasa atau kehalalan, melainkan sesuatu yang sering kali luput dari perhatian kita, pelanggaran hak cipta.
"Iya sudah ditetapkan tersangka, rencana pekan depan lanjut ke tahap satu," ujar Kombes Ariasandy, Kabid Humas Polda Bali, mengonfirmasi status hukum tersebut pada Sabtu, 19 Juli 2025. Tuduhannya spesifik, menggunakan lagu dan musik secara komersial di gerai-gerai Mie Gacoan tanpa pernah membayar royalti.
Kenapa Memutar Lagu di Kafe Harus Bayar?
Mungkin kamu bertanya-tanya, "Loh, kan lagunya ada di platform streaming? Kenapa harus bayar lagi?"
Nah, di sinilah letak perbedaannya. Memutar lagu untuk dinikmati sendiri di kamar dengan headphone itu adalah penggunaan pribadi. Tapi, ketika sebuah bisnis, entah itu kafe, restoran, hotel, atau bahkan barbershop, memutar musik untuk menciptakan suasana dan menarik pelanggan, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial. Musik tersebut menjadi bagian dari produk dan layanan yang mereka tawarkan untuk menghasilkan keuntungan.
Di sinilah peran Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menjadi krusial. Anggap saja LMKN ini adalah "koperasi"-nya para musisi, pencipta lagu, dan produser di Indonesia. Tugas mereka adalah "mengetuk pintu" para pelaku bisnis yang menggunakan karya anggota mereka dan menagih biaya lisensi atau royalti. Uang yang terkumpul kemudian didistribusikan kembali kepada para pencipta lagu dan musisi sebagai hak ekonomi atas karya mereka.
Ini diatur dengan sangat jelas dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Intinya sederhana, setiap orang yang menggunakan karya cipta secara komersial wajib meminta izin dan membayar imbalan yang layak. Dalam kasus ini, Mie Gacoan diduga telah melewatkan kewajiban tersebut. Mereka memutar musik untuk menghibur jutaan pelanggannya, namun lupa "membayar sewa" kepada para pemilik lagunya.
Siapa yang Sebenarnya Tersandung?
Penting untuk dicatat dan dipahami, kasus ini tidak serta-merta menjerat seluruh kerajaan Mie Gacoan. Berdasarkan data yang ada, struktur kepemilikan brand ini terbagi dua.