Coba jujur, kapan terakhir kali kamu sengaja nonton acara budaya di TV atau datang langsung ke sebuah festival daerah? Selama ini, kata "kebudayaan" sering terasa berjarak, terdengar formal, dan mungkin sedikit... membosankan. Sesuatu yang kita pelajari di buku sejarah, bukan sesuatu yang bikin kita bilang, "Wah, gila, keren banget!"
Tapi, beberapa waktu lalu, internet seolah menampar kita semua dengan sebuah kenyataan baru.
Sebuah video pendek dari Riau mendadak meledak. Video itu hanya menampilkan seorang anak laki-laki, berdiri di ujung perahu panjang, menari dengan gerakan ritmis yang tegas sambil memegang sebilah kayu. Tanpa senyum, tanpa ekspresi berlebihan, fokusnya tajam. Di belakangnya, puluhan pendayung bergerak serempak mengikuti komandonya.
Warganet internasional pun gempar. Mereka menyebutnya "aura farming", sebuah istilah gaul untuk menggambarkan seseorang yang memancarkan energi kuat, tenang, dan sangat keren secara alami. Anak itu, yang dikenal sebagai anak pacu, dan tradisi di baliknya, Pacu Jalur, tiba-tiba menjadi simbol badass-nya budaya Indonesia.
Momen viral ini bukan keberuntungan. Ini yang memberitahu kita bahwa harta karun terbesar Indonesia selama ini hanya menunggu untuk ditemukan dan diceritakan dengan cara yang benar. Jika satu video Pacu Jalur bisa seheboh itu, bayangkan apa yang terjadi jika kita menyalakan sorotan pada puluhan, bahkan ratusan, festival lain yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Jadi, Kita akan melakukan tur singkat ke beberapa festival kebudayaan paling menakjubkan di Indonesia yang punya potensi "aura farming" tingkat dewa.
Viralnya Pacu Jalur membuktikan festival budaya Indonesia punya 'aura' yang keren & potensi global. Tradisi ini adalah aset bangsa yang menunggu ditemukan. - Tiyarman Gulo
1. Pacu Jalur, Kuantan Singingi (Riau)
Kita mulai dari sang primadona yang baru naik daun. Sebuah perahu kayu raksasa yang disebut "jalur", panjangnya bisa mencapai 25 hingga 40 meter, dibuat dari satu batang pohon utuh tanpa sambungan! Perahu ini diawaki oleh 40 hingga 60 orang pendayung.
Apa yang Bikin Keren?
Di sinilah letak keajaibannya. Di ujung depan perahu, berdiri sang anak pacu, komandan cilik yang tugasnya memberi ritme dan keseimbangan. Di tengah, ada tukang tari yang menari-nari untuk menyemangati tim. Di belakang, sang juru mudi menjaga arah. Mereka semua bergerak sebagai satu kesatuan, sebuah orkestra manusia yang membelah sungai dengan kekuatan dan sinkronisasi yang hipnotis. Teriakan mereka, deburan air, dan sorak-sorai penonton di tepi sungai.
Awalnya, jalur adalah alat transportasi para bangsawan dan pembesar kerajaan di sepanjang Sungai Kuantan. Setelah masa penjajahan Belanda, tradisi ini diubah menjadi sebuah perlombaan untuk merayakan hari besar dan mempererat persaudaraan antar desa. Itulah mengapa auranya begitu kuat; ini bukan olahraga, ini adalah ritual kebersamaan.
2. Festival Pasola, Sumba (Nusa Tenggara Timur)
Kalau kamu pikir Pacu Jalur sudah cukup menegangkan, geser sedikit ke Sumba. Di sini, ada sebuah tradisi yang akan membuat jantungmu berdebar lebih kencang. Secara harfiah, Pasola berarti "lempar lembing kayu". Ya, kamu tidak salah baca.
Apa yang Bikin Keren?
Dua kelompok "ksatria" Sumba, lengkap dengan pakaian adat yang eksotis, saling berhadapan di atas kuda-kuda Sandalwood yang lincah. Mereka saling menyerang dengan lembing kayu tumpul (hola) yang dilemparkan dengan kecepatan tinggi. Tujuannya bukan untuk membunuh, tetapi untuk menumpahkan darah ke tanah. Bagi masyarakat Marapu (agama lokal Sumba), setiap tetes darah yang jatuh adalah simbol kesuburan, sebuah persembahan agar panen di tahun itu melimpah ruah. Ini adalah gladiator versi Nusantara, sebuah pertarungan ritual yang penuh keberanian, keahlian berkuda, dan filosofi mendalam.
Legenda mengatakan Pasola berawal dari kisah cinta. Konon, seorang janda cantik bernama Rabu Kaba menikah lagi setelah suaminya, Ubu Dulla, tak kunjung pulang melaut. Ketika Ubu Dulla tiba-tiba kembali, masyarakat memutuskan untuk mengadakan festival perang-perangan untuk melupakan kesedihan dan merayakan pertemuan kembali. Jadi, di balik adegan "perang" yang ganas, ada cerita tentang cinta, kehilangan, dan pengorbanan. Pasola adalah cara mereka mengubah duka menjadi harapan.
3. Karapan Sapi, Madura (Jawa Timur)
Dari Sumba, kita terbang ke Pulau Garam, Madura. Di sini, kecepatan adalah segalanya. Lupakan Formula 1, karena Madura punya balapan yang jauh lebih otentik dan memacu adrenalin.
Apa yang Bikin Keren?
Sepasang sapi jantan berotot diikat pada sebuah kereta kayu sederhana yang disebut kaleles. Di atasnya, seorang joki (tukang tongko) berdiri dengan berani, hanya berpegangan pada tali kekang sambil menjaga keseimbangan saat kedua sapi itu melesat seperti peluru di lintasan pacu sepanjang 100 meter. Kecepatannya bisa mencapai 50 km/jam! Sebelum balapan, sapi-sapi ini didandani dengan hiasan mewah dan diarak keliling desa.
Tradisi ini awalnya dipopulerkan oleh seorang ulama bernama Syekh Ahmad Baidawi (Pangeran Katandur) sebagai cara praktis untuk mengolah sawah yang keras di Madura. Lama-kelamaan, kegiatan ini berubah menjadi ajang adu gengsi dan harga diri. Memiliki sapi karapan yang juara bukan hanya soal hadiah, tapi mengangkat status sosial pemiliknya setinggi langit. Karapan Sapi adalah cerminan karakter orang Madura yang keras, pekerja keras, dan menjunjung tinggi kehormatan.
4. Festival Lembah Baliem, Papua
Terakhir, kita terbang ke ujung timur Indonesia, ke Lembah Baliem yang magis di Papua. Setiap tahun, lembah ini menjadi panggung bagi sebuah festival yang seolah membawa kita kembali ke zaman prasejarah.
Apa yang Bikin Keren?
Puluhan, bahkan ratusan, prajurit dari berbagai suku seperti Dani, Lani, dan Yali berkumpul. Tubuh mereka dihiasi cat tradisional, kepala mereka dihiasi bulu kasuari, dan para pria hanya mengenakan koteka. Mereka melakukan simulasi perang besar-besaran. Lengkap dengan tombak, busur, dan panah, mereka saling serang dalam sebuah koreografi kolosal yang epik. Suara teriakan perang mereka menggema di seluruh lembah.
Eits, jangan salah sangka. Ini bukan perang sungguhan. Justru sebaliknya, festival ini adalah simbol perdamaian. Dulu, perang antar suku sering terjadi. Festival ini diciptakan sebagai cara untuk menyalurkan semangat juang dan melestarikan tradisi perang leluhur tanpa harus ada pertumpahan darah. Ini adalah cara mereka untuk menjaga api tradisi tetap menyala, sambil menunjukkan kepada dunia dan generasi muda mereka kekayaan budayanya. Di sela-sela "perang", ada upacara bakar batu, tarian, dan musik yang menunjukkan kehangatan dan kebersamaan masyarakat Papua.
Bukan Sekadar Tontonan, Ini Aset Bangsa yang Tersembunyi
Pacu Jalur, Pasola, Karapan Sapi, dan Festival Lembah Baliem hanyalah empat contoh kecil dari ribuan permata budaya yang dimiliki Indonesia. Masing-masing memiliki "aura farming"-nya sendiri. Mereka otentik, tidak dibuat-buat, dan menyimpan cerita serta filosofi yang berusia ratusan tahun.
Fenomena viral Pacu Jalur mengajarkan kita satu hal penting, kita tidak perlu mengubah budaya kita agar terlihat keren. Budaya kita SUDAH KEREN dari sananya. Yang kita butuhkan adalah cara baru untuk menceritakannya. Kita butuh lebih banyak orang yang merekamnya dengan apik, menulis ceritanya dengan semangat, dan membagikannya dengan bangga.
Festival-festival ini bukan sekadar atraksi turis. Mereka adalah perpustakaan hidup, sekolah karakter, dan pilar identitas kita sebagai bangsa. Mereka adalah bukti bahwa nenek moyang kita adalah orang-orang yang tangguh, kreatif, dan penuh filosofi.
Jadi, setelah membaca semua ini, pertanyaan di awal tadi kita ubah sedikit, Festival Kebudayaan Indonesia mana yang akan masuk ke dalam bucket list-mu?
Atau mungkin, di kotamu, di desamu, ada sebuah tradisi unik yang punya "aura farming" tersendiri dan menunggu untuk ditemukan? Ceritakan pada kami. Mari kita bersama-sama menjadi anak pacu bagi kebudayaan kita, menjadi komandan yang memimpin barisan untuk menunjukkan betapa luar biasanya Indonesia pada dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI