Pendidikan - Negara tanpa guru. Tak ada dokter, insinyur, penulis, atau pemimpin yang lahir dari ruang kelas. Tapi ironisnya, di negeri yang mengaku pendidikan sebagai fondasi kemajuan, profesi guru justru kerap terpinggirkan. Mengapa bisa begitu?
Pemerintah naikkan gaji guru mulai 2025, namun tantangan seperti anggaran, ketimpangan, dan birokrasi masih hambat implementasi kebijakan tersebut. - Tiyarman Gulo
Guru, Pilar yang Terlupakan
Setiap bangsa besar dibangun oleh pendidikan yang kokoh. Dan di dalam pendidikan, ada sosok guru yang tak tergantikan. Guru adalah arsitek jiwa, penanam nilai, pemantik harapan. Tapi, mari kita jujur, apakah negeri ini benar-benar memperlakukan guru sebagaimana mestinya?
Mungkin jawabannya rumit. Karena meski guru dipuja-puji setiap 25 November, kesejahteraan mereka masih menjadi "PR" besar di negara ini. Padahal, kita semua sepakat: tanpa guru, tak ada kemajuan.
Menyadari Pentingnya Peran Guru
Indonesia bukan tanpa harapan. Pemerintah dan masyarakat menyadari bahwa guru memegang peran vital. Presiden Prabowo Subianto pada Hari Guru Nasional 2024 bahkan menyatakan bahwa guru adalah penjaga masa depan bangsa, dan berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Tapi pengakuan saja tidak cukup. Guru tidak hidup dari pujian. Mereka hidup dari gaji dan penghargaan nyata yang mendukung kerja kerasnya mendidik generasi.
Kebijakan Pemerintah: Naikkan Gaji Guru?
Kabar baik datang pada akhir 2024 yang lalu, Pemerintah mengumumkan kebijakan kenaikan gaji guru mulai 2025. Rinciannya,
- Guru ASN (Aparatur Sipil Negara) akan mendapatkan tambahan satu kali gaji pokok setiap tahun.
- Guru non-ASN/honorer akan menerima tunjangan tetap sebesar Rp2 juta per bulan.
Langkah ini disambut baik oleh banyak pihak. Setidaknya, ini menjadi sinyal bahwa pemerintah mulai mendengarkan jeritan guru yang selama ini bekerja dalam keterbatasan.
Tapi seperti biasa, setan ada di detailnya.
Fakta di Lapangan
a. Keterbatasan Anggaran
Secara teori, menaikkan gaji guru adalah ide brilian. Tapi dalam praktik, ini bukan hal yang mudah. Mari berhitung, Misalnya, jika gaji pokok guru PNS adalah Rp3 juta, maka tambahan satu kali gaji per tahun untuk 1,3 juta guru PNS membutuhkan Rp46 triliun.
Itu belum termasuk tunjangan sertifikasi guru, tunjangan daerah terpencil, dan berbagai insentif lainnya. Anggaran sebesar ini tentu menjadi beban serius bagi APBN yang juga harus membiayai sektor lain.
b. Ketimpangan ASN dan Non-ASN
Satu masalah klasik yang tak kunjung selesai, ketimpangan antara guru negeri dan guru honorer. Meskipun ada program PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), banyak guru honorer tidak memenuhi syarat seleksi atau gagal lolos seleksi karena keterbatasan kuota dan kriteria teknis.
Akhirnya, ada guru yang mengabdi 15 tahun lebih dengan bayaran ratusan ribu rupiah per bulan, tanpa jaminan karier dan masa depan.
c. Birokrasi dan Tunjangan yang Tersendat
Masalah lain adalah penyaluran tunjangan yang sering terlambat. Guru yang sudah mengajar penuh semangat harus sabar menanti dana sertifikasi atau tunjangan daerah yang terhambat birokrasi.
Bahkan ada yang menunggu berbulan-bulan, tanpa kejelasan. Bukankah ini menyedihkan?
d. Serikat Guru itu Ada, Tapi Tak Didengar
Di negara-negara maju, serikat guru punya kekuatan politik. Mereka bisa menekan pemerintah untuk menyusun kebijakan pro-pendidikan. Di Indonesia, sayangnya, serikat guru cenderung lemah dalam negosiasi.
Mereka kadang terdengar di media, tapi tak cukup kuat di meja rapat. Akibatnya, suara guru sering hilang ditelan wacana-wacana elite.
Kenapa Guru Masih Kurang Diistimewakan?
Ini pertanyaan besar. Kalau kita tahu pendidikan penting, dan guru adalah ujung tombaknya, kenapa mereka tidak diprioritaskan secara nyata?
Beberapa jawabannya antara lain,
- Politik anggaran yang masih lebih mengutamakan pembangunan fisik daripada pembangunan manusia.
- Kurangnya urgensi politik, Isu guru tidak selalu dianggap "menjual" di mata elite.
- Budaya birokrasi yang lambat dan berbelit.
- Masyarakat yang belum cukup vokal menuntut keadilan bagi para guru.
Refleksi dan Jalan Tengah
Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan satu pihak. Pemerintah punya beban berat membagi anggaran nasional. Tapi kita juga tak bisa membiarkan profesi guru terus dianaktirikan.
Yang perlu dilakukan antara lain,
- Reformasi birokrasi pendidikan agar tunjangan dan gaji guru bisa cair tepat waktu dan transparan.
- Penguatan organisasi guru agar bisa bernegosiasi lebih efektif.
- Pengangkatan massal guru honorer berkualitas menjadi PPPK/PNSÂ dengan mekanisme lebih adil.
- Edukasi publik tentang pentingnya menghargai profesi guru secara nyata, bukan hanya lewat ucapan manis.
Kalau Guru Bahagia, Indonesia Sejahtera
Tak ada bangsa yang besar tanpa pendidikan yang kuat. Dan tak ada pendidikan yang kuat tanpa guru yang dihargai. Bukan hanya dihormati lewat upacara dan slogan, tapi lewat gaji yang layak, perlindungan kerja, dan penghargaan sosial.
Jika kita sungguh percaya bahwa guru adalah kunci peradaban, maka sudah saatnya kita membuka pintu kemajuan dengan kunci yang benar.
Mulailah dari memberi yang terbaik bagi mereka.
Karena saat guru bahagia, anak-anak akan belajar dengan gembira. Dan dari ruang kelas yang ceria, lahirlah masa depan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI