Hukum - Dunia yang Bising, Kita yang Bingung!
Kita hidup di era di mana setiap orang bisa menjadi "wartawan" dadakan. Cukup modal hape dan kuota, semua bisa posting berita, komentar, bahkan mengubah opini publik. Tapi ironisnya, semakin banyak informasi yang beredar, justru semakin banyak kebingungan yang terjadi.
Pernah nggak, dapat pesan berantai di WhatsApp yang katanya "dari dokter terpercaya", lalu isinya suruh minum air garam biar kebal virus? Atau mungkin kamu pernah percaya dengan berita sensasional yang ternyata hoaks?
Kalau iya, kamu tidak sendirian.
Indonesia saat ini sedang menghadapi epidemi baru, hoaks dan propaganda digital. Dan parahnya, masyarakat kita justru sering jadi korban sekaligus penyebarnya.
Masyarakat Indonesia rentan hoaks karena rendahnya literasi digital, emosi, bias konfirmasi, algoritma medsos, budaya sebar dulu, dan minim edukasi. - Tiyarman Gulo
Mengapa Hoaks dan Propaganda Mudah Menyebar di Indonesia?
1. Literasi Digital yang Rendah
Banyak orang Indonesia belum terbiasa memverifikasi informasi. Misalnya, saat lihat berita dari media online tak dikenal, mereka langsung percaya tanpa cek sumbernya. Bahkan, judul berita saja sudah cukup untuk membuat orang marah atau takut, padahal belum tentu isinya seperti itu.
Literasi digital bukan cuma soal bisa pakai gadget, tapi kemampuan memahami, menganalisis, dan mengevaluasi informasi. Sayangnya, kemampuan ini belum merata.
2. Budaya "Sebar Dulu, Cek Belakangan"
Nilai sosial masyarakat kita yang tinggi, gotong royong, peduli, suka bantu, kadang justru jadi celah untuk penyebaran hoaks. Niatnya ingin membantu teman atau keluarga, malah ikut menyebarkan informasi yang salah.
Apalagi di grup WhatsApp keluarga, kebanyakan informasi hanya dipantulkan dari satu grup ke grup lain. Tak ada waktu untuk berpikir panjang: yang penting "niatnya baik".
3. Emosi dan Bias Konfirmasi
Pernah nggak merasa berita tertentu bikin kamu langsung emosi, tanpa sempat berpikir panjang? Itu karena otak manusia secara alami lebih percaya pada informasi yang memicu emosi.
Ditambah lagi dengan bias konfirmasi, kita cenderung hanya percaya informasi yang sesuai dengan pandangan pribadi. Kalau sudah cocok dengan opini kita, langsung share. Kalau nggak cocok, langsung dibilang "nggak valid".