Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemerintah Tidak Mengajari Rakyatnya Gemar Menabung?

10 Maret 2020   13:31 Diperbarui: 10 Maret 2020   15:57 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang anak kelas 3 SD, bertanya kepada teman-temannya, saat berkumpul dan bermain di depan sebuah warung di pemukiman menengah ke bawah, berapa harga sebuah biskuit coklat, merk "beng-beng".  

Sang teman menjawab, delapan ratus rupiah. Sang anak berpikir sekejap, lantas melanjutkan permainannya.  Sang ayah yang kebetulan melihat peristiwa tersebut bertanya, "Kenapa nak, kok nggak jadi beli?".  

"Cicing (keluarga itu mengatakan uang dengan sebutan cicing) aku nggak cukup Ayah, kan sehari cicing jajan aku seribu lima ratus, tadi udah kepake seribu, tinggal lima ratus.".  

Hati sang ayah menangis, apalah artinya uang seribu pada tahun 2011, namun karena sudah ketetapan hati ingin mendidik anak untuk hidup hemat, tak urung air mata sang ayah menetes, membayangkan kekecewaan sang anak.

Dua hari kemudian, sepulang dari pabrik tempatnya bekerja sang ayah menyempatkan diri membeli biskuit yang diinginkan anaknya tempo hari, sebanyak sepuluh bungkus.  Toh tak sampai delapan ribu rupiah.  

Namun, masih demi pendidikan hidup hemat dan prihatin sang ayah mengatakan, bahwa tadi di pabrik ada temannya yang ulang tahun dan membagi-bagikan biskuit masing-masing satu pak, isi sepuluh bungkus, lalu sang ayah ingat kepada anaknya dan dibawa pulang.  Jadi bukan sengaja beli.  Sang anak bukannya berterima kasih, malah bertanya, "Kenapa dibawa pulang semua, aku kan hanya ingin satu, kasih kakak satu, kalau ayah nggak doyan bisa kasih ke teman lain di pabrik.". 

Sebuah keluarga lain, pengrajin tahu di sebuah kampung di pulau Belitung, sekira tiga puluh lima tahun yang lalu, hidup dengan penuh kesederhanaan.  Karena baru memulai usaha dengan memiliki dua anak kecil, mereka harus hidup super hemat.  

Dalam satu minggu setiap hari Selasa dan hari Jum'at keluarga tersebut tidak makan nasi, melainkan makan bubur demi menghemat pemakaian beras. Demikianlah dijalani mereka bertahun-tahun lamanya, kini pengusaha kecil yang hidup serba hemat tersebut telah memiliki usaha yang beraneka rupa.  

Tidak sekedar menjadi pengrajin tahu semata.  Memang belum jelas, apakah keluarga tersebut sukses karena hemat, atau dibarengi kerja keras.  Namun biasanya, orang yang terbiasa hidup hemat otomatis akan terbiasa  hidup dengan bekerja keras pula.  Jarang orang yang hemat dibarengi dengan sikap hidup bermalas-malasan.

Dalam sebuah, acara televisi Jepang, di mana dilakukan perlombaan ketangkasan berhadiah uang tunai, seorang pemenang ditanya oleh pembawa acara, "Akan digunakan untuk apa uang hadiah yang didapatnya?".  

Dengan tegas, sang pemenang yang kebetulan wanita tersebut menjawab, "Akan ditabung semuanya.".  Para penonton bertepuk tangan riuh.  Entah bagaimana reaksi penonton, jika hal tersebut terjadi di negeri ini, yang konon rakyatnya paling susah jika diajari untuk berhemat dan menabung,  kecuali kepepet.

Dan masih teramat banyak cerita-cerita tentang individu-individu yang melakukan penghematan, di sana-sini.  Bahkan sejak taman kanak-kanak, anak-anak diperkenalkan dengan pameo, rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya.  Cita-cita nyaris semua umat manusia, menjadi pandai dan kaya.

Berangkat dari hal di atas, bagaimana perilaku pemerintah dalam hal meningkatkan perekonomian nasional.

Hari Libur Diperbanyak

Pada hari Senin (9/3), pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), mengatakan alasan pemerintah menambah hari libur dengan mekanisme menambah cuti bersama tahun 2020, adalah untuk meningkatkan perekonomian nasional, di samping ingin masyarakat lebih mengenal Indonesia.

Bahkan Meteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan penambahan hari libur tahun ini akan berpengaruh pada peningkatan ekonomi.  Menurutnya kondisi tersebut berkaca dengan keadaan ekonomi tahun 2018 yang lebih baik dari tahun 2019, karena memiliki hari libur yang lebih lama satu hari.  

Mungkin baru kali ini negara memiliki Menteri Tenaga Kerja yang lebih suka rakyatnya berlibur daripada bekerja.  Dengan imbuhan setelah berlibur, karyawan akan lebih produktif.  Entah kata siapa, karena yang sudah-sudah banyak karyawan yang justru menyumpahi dan memaki-maki hari Senin, "I hate Monday...".  Setelah libur kemarin harinya.

            Belum puas dengan wacana liburan bisa menambah produktifitas, kalangan pemerintah juga beranggapan, dengan banyaknya hari libur, maka pengusaha yang berusaha di bisnis kuliner, dan industri kreatif lainnya akan terkena dampak dari banyaknya wisatawan domestik, dan inilah salah satu yang menjadi tolok ukur dan faktor penambah peningkatan perekonomian nasional tersbut.  Benar-benar sebuah alasan yang sangat sederhana, dan mengasumsikan pertumbuhan ekonomi negeri ini tak lebih dari pertumbuhan dari sektor usaha warung.  

Memangnya kita mau membuat negeri kelas warung?  Industri kreatif lainnya, juga dapat dipastikan tak jauh dari penunjang pariwisata, serta para youtuber dan sejenisnya yang berkeliling kian kemari, keliling kota, kampung, warung makan dan sejenisnya.  Kemudian dilanjutkan dengan membuat konten dan diunggah ke media-media online.  

Lalu siang malam dengan mata berkedip-kedip menunggu jumlah penonton, atau follower mencapai titik tertentu.  Rakyat seantero negeri pun disuguhi tontonan yang isinya tak lebih dari orang lagi makan, orang jalan-jalan ke tempat populer dan menggunakan kuota internet yang tak murah harganya.  Lalu tabungan nasional pun berkurang, karena telanjur tersedot ke sektor konsumtif.  Itulah arti penting pertumbuhan ekonomi nasional.

Jadi, ajaran nenek moyang yang mengajari anak cucunya menabung di tabungan tradisional, baik berupa celengan berbentuk hewan celeng, ayam, kucing, bahkan sekedar yang terbuat dari pohon bambu yang dilubangi, dipatahkan dengan ajaran untuk membuang-buang uang untuk berlibur.  Jika hari liburnya kurang, maka pemerintah akan menyediakannya.  Dana untuk liburan, pakai uang tabungan, atau jangan menabung.  

Duh Gusti, mengapa pula Menteri Penggerak Ekonomi Kreatif tidak menghimbau, agar setiap hari libur rakyat negeri ini beramai-ramai membuat kerajinan tangan dari daerah masing-masing, yang untuk kemudian didistribusikan antar daerah.  

Misalnya rakyat Sulawesi membuat kerajinan tangan dan dijual ke Sumatera dan sebaliknya.  Dengan begitu, kita juga akan bisa lebih mengenal Indonesia, jika alasan libur ditambah agar rakyat negeri ini lebih mengenal Indonesia.

Tangerang, 10 Maret 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun