Mohon tunggu...
Titik Nur Farikhah
Titik Nur Farikhah Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Euforia Ramadan Tak Lekang oleh Waktu

12 Mei 2020   14:08 Diperbarui: 12 Mei 2020   14:13 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sobat Kompasioner, percaya gak? Saat lihat tema event Satu Ramadan Bercerita hari ini, mendadak jadi semangat nulis. Biasanya malam selepas tarawih baru mulai merangkai kata, tapi kali ini aku buru-buru ambil laptop terus mulai deh senyum-senyum sendiri sambil bernostalgia dengan Ramadan.

Siang ini ingatanku mendadak singgah di suatu tempat yang hampir tak pernah kujamah lagi. Sebuah kampung di pusat kota yang menyisakan kenangan indah di masa kecil hingga dewasa, menikah, dan punya baby. Rindu sih iya tapi kalau ke sana mau ngapain ya? Toh, gak ada lagi orang tua. Paling kalau singgah hanya ambil weselpost yang nyasar ke rumahku atau ambil PBB. Ya sudah itu saja.

Rumah tabon (istilah rumah warisan keluarga) itu masih berdiri di area perkampungan yang padat penduduk. Tapi saat ini sudah ada yang nempati. Berat sebetulnya melepasnya untuk ditempati orang lain tapi bagaimana pun hidup adalah pilihan. Daripada rumah rusak mending ada yang merawatnya. 

Toh yang tinggal di sana, keluarga yang benar-benar membutuhkan tempat tinggal. Tidak patok harga sesuai standar kontrakan, semua berdasar kesepakatan dan kemampuan si pengontrak rumah.

Tak pernah ngiklanin rumah tapi justru banyak yang tanya kapan mau disewakan. Selepas ibuku meninggal. Rumah kami memang tak begitu besar. Dengan lahan 175 m2 full bangunan. Mungkin karena mereka tahu bagaimana sang penghuni rumah selalu menjaganya dengan baik. Bukan hanya masalah fisik bangunan tapi ruh rumah itu. Mungkin kali ya? Karena sebetulnya bangunan rumahnya kurang terawat.

Mendiang ayah salah satu alasannya. Meski beliau bukan seorang ulama tapi kharismanya tak lekang oleh waktu. Beliau termasuk pendiri madrasah diniyah di kampungku. 

Dulu madrasah masih sangat langka. Madrasah itu identik dengan tempat belajar ngaji dan muridnya hanya anak-anak usia Sekolah Dasar. Peran beliau di masyarakat memang luar biasa. Mengingatnya, mendadak mataku berkaca-kaca. Kerinduan yang membucah, 23 tahun silam beliau dipanggil Sang Khalik lebih dulu dibanding sebelas saudara kandungnya yang lain.

Kehilangan beliau, bagaikan kehilangan tongkat ajaib yang setiap saat aku butuhkan dan selalu siap memberi jawaban. Karena beliaulah, terkadang aku sering dipanggil Zarkasyi Junior. Maklumlah kan gak punya anak laki-laki. Jadilah aku penerus beliau meski masih jauh tertinggal.

Banyaknya tokoh di kampungku, menjadikan kampungku lebih religius. Apalagi lokasinya dekat dengan Masjid Agung Kauman, seolah aura itu turut terpancar hingga ke kampungku Notoprajan. Yah, itu nama kampungku dulu. Bersyukur aku lahir dan besar di sana. Lebih bersyukur lagi karena aku punya sosok yang mampu menjadi teladan hidupku. Siapa lagi kalau bukan ayahku.

Dipercaya menjadi imam masjid meskipun sebetulnya hanya cadangan dan kadang sering menggaungkan khutbah jum'at membuatku semakin segan kepada beliau. Tentu kiprah ayahku pula yang kemudian menggiringku untuk selalu mengikuti lomba-lomba saat masih kecil pada bulan Ramadan untuk mewakili tempat tarawihku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun