Masih di surat yang sama, R.A. Kartini menyatakan kekecewaan sekaligus kritikan pada Agama Islam (baca : ulama) yang hanya mengajarkan membaca Al Quran tapi tidak memperkenankan Al Quran itu diterjemahkan ke dalam bahasa mana pun.Â
Sama saja seperti belajar bahasa Inggris, harus hafal semua kata-katanya tapi tidak ada satupun yang diketahui maknanya.Â
"Lagipula agamaku Islam karena nenek moyangku beragama Islam. Bagaimana bisa cinta agamaku kalau aku tidak kenal dan tidak boleh mengenalnya?"
Pada saat itu, seseorang akan dianggap saleh kalau bisa membaca Al Quran.Â
Dilansir dari atlantis-Indonesia.org, pada akhirnya keinginan Kartini untuk dapat mengerti Al Quran terkabul setelah bertemu dengan Kyai Sholeh.Â
Dalam pertemuannya dengan Kyai Sholeh Kartini bertanya kenapa selama ini ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam bahasa Jawa? Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?
Percakapan dengan Kartini menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar. Menerjemahkan Al Quran ke dalam bahasa Jawa. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini.Â
Mengerti akan ajaran agamanya membuat pandangan Kartini terhadap agamanya berubah. Hal ini tercermin dalam surat yang dikirimkannya kepada Ny Van Kol tanggal 21 Juli 1902 dan 1 Agustus 1903. "Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu hamba Allah SWT."
Masya Allah. Malu rasanya hidup di zaman dimana terjemahan Al Quran ada dimana-mana tapi tidak juga berusaha mempelajarinya.Â